2. Dialog, Ingatan, dan Keberadaan

45 31 15
                                    


Flora

Jam menunjukan pukul 00.30 sekarang. Badanku mulai berat terutama di punggung. Lengan ku juga rasanya mau melayang. Namun mau tak mau, badanku harus ku paksa. Kini ku balik lembar selanjutnya dari buku ini. Ku lihat judul di bab dua, Dialog Dini Hari. Aku paksa senyum licik ku kembali bermekaran di antara kata-kata buku yang ku pegang.

..............

Dialog Dini Hari

Aku memandang foto-fotomu dalam kamera ku, foto-foto dimana kita terakhir kali bertemu, kemarin. Ya, kemarin aku menemui mu setelah aku pulang dari Yogyakarta, menemuimu yang berada di Surabaya, kota asliku dan kota dimana kita dipertemukan. Aku menemuimu bukan tanpa maksud. Ya, karena aku ingin memberi sedikit kejutan bahwa aku bisa melihat kamu perform akustik bersama band mu.

Masih terpaku di foto yang sama, yang memerlihatkanmu sedang tersenyum dimana dihadapanmu ada microphone yang mungkin kamu anggap itulah jiwamu ada di sana. Kau tau, aku juga ikut tersenyum melihatmu saat kau dengan asyiknya bernyanyi, tapi apalah daya, aku tak seberani apa yang kau kira. Mungkin, kalau kamu tau, dialog ku bersama mu selalu aku lakukan, ya seperti ini, aku bercerita kepadamu, bukan dirimu yang asli tapi dirimu yang ada dibayanganku.

"Alya"

Aku meng-off kan kameraku sambil kedua tanganku menutup kedua muka ku. Di dalam tutupan tanganku, nafasku menghela cukup panjang sebelum aku membuka kedua telapak tanganku di raut mukaku.

"Tuhan, aku tutup dialog ini, tolong sampaikan salam sayang kepadanya melalui doa-doaku"

Mataku terpejam, dan bayangan Alya mulai bergerak-gerak lagi dalam mimpiku. Dialog halusinasi dimulai kembali. 

..........................................

Kata berharap memang identik dari diriku untuk dirimu. Aku yang berada jauh di Yogyakarta tak bisa melakukan apapun untuk memperoleh hatimu, kecuali selalu melakukan percakapan melalui media sosial.

"Alya" aku mengelus layar ponselku sembari menunggu balasan dari Alya.

Aku tahu posisiku dan posisimu. Bukan aku sendiri yang sedang mengharapkanmu, melainkan banyak laki-laki lain yang mengharapkanmu. Kadang kau tau Alya, hatiku selalu berpercik cemburu ketika melihatmu dengan yang lain, walau itu hanya terlihat dalam percakapan dimedia sosialmu dengan laki-laki yang tak ku kenal.

"Iya" Balasanmu singkat dari percakapan kita. Aku menghela nafas panjang. Aku bingung mengapa seorang laki-laki diciptakan untuk selalu kebingungan saat melakukan percakapan yang hanya berlangsung satu arah.

"Aku harus membalas dengan apalagi Alya" Aku melempar ponselku ke kasur, dan mulai berdialog lagi. Aku liat jam yang menggantung di kamarku, dua puluh menit lagi sudah berganti hari. Iya ini dialog menyambut dini hari.

"Tuhan, Aku mau bercerita lagi. Apakah suatu saat rasa sayangku ini akan terbalas olehnya ? Mungkinkah Tuhan ? Aku bilang seperti ini bukan tanpa alasan, karena yang aku rasakan ialah dia membalas percakapan media kita bukan karena ia memiliki suatu rasa kepadaku, melainkan hanya ada rasa yang tak enak kepada seorang teman kalau ia tak membalas percakapan itu. Lalu aku harus apa Tuhan ?"

Aku termenung sejenak, dan perlahan memori-memori tentang Alya terputar lagi secara rapi.

"Apakah aku salah menyayanginya ? Bisakah dia jatuh cinta kepadaku Tuhan ?"

Aku menghela nafas panjang dan melihat jam yang bergelantung di dinding kamarku, satu menit lagi dinihari.

"Tuhan, lindungi dia, biarkan satu arah ini terus terjadi, semoga dia merasa apa yang aku rasa, dan yang satu arah ini akhirnya bisa menjadi dua arah"

Jejak Langkah yang Kau Tinggal (SELESAI)Where stories live. Discover now