12. Pelukis Masih Tertidur

17 14 0
                                    

Dimas

"Begitukah?" aku mengernyitkan dahi setelah membaca cerpen Maaf, Aku Tidak Percaya Laki-Laki Lagi.

Aku bisa merasakan bagaimana Flora saat membawa seseorang yang tidak diinginkannya. Aku bisa merasakan Flora selalu ingin berhenti.

Aku mengedikan bahu membenarkan posisi.

Hmmm.

Aku masih mengernyitkan dahi dampak dari cerpen itu.

Ku buka lembar selanjutnya.

Judulnya terpampang disana.

Misterius, sepertinya. Melukis di Depan Dinding. Aku mengangkat alis sekali lagi, berharap ini cerita bagus untuk pengantar tidurku yang baik dari hari yang buruk menurutku.

Melukis di Depan Dinding. Ku baca perlahan.

.................................

Melukis di Depan Dinding

Awalnya aku sedang melukis di depan dinding putih tanpa variasi apapun. Alasanku melukis saat itu bukan karna aku seniman, atau aku menyukai seni lukis melainkan aku sedang berlari dari kenyataan menuju lukisan sebagai objek pelarian dari masalah-masalahku. Lalu masalah apa yang menderaku ? Tunggu nanti akan aku ceritakan, namun untuk pertama-tama perkenankan aku mengenalkan diriku terlebih dahulu. Ups, maaf teman-teman aku sedang melakukan kesalahan sebelumnya, dan maaf juga aku tidak punya tipe-ex untuk menghapus tulisan ini dan aku benar-benar enggan mencoret tulisan ini, jadi aku tuliskan permintaan maafkanku. Maaf kenapa ? Karena aku tadi bilang perkenalan, aku sendiri tak tau namaku siapa masalahnya. Aku lupa ingatan, lupanya hanya namaku saja. Sangat aneh. Hal itu terjadi karena sebelum menjelang kematianku, aku awalnya melukis –sama seperti awal paragraf-.

Aku melukis, melukis, dan melukis. Tapi pada kenyataannya aku tidak sedang melukis, karna apa, karena aku sedang berada di depan dinding. Kertas putihku pun juga masih putih belum tergores apapun. Ya, mungkin berbeda jika aku melukis dihadapan pemandangan gunung ataupun pemandangan lainnya. Tapi ya beginilah diriku, melukis didepan dinding, merupakan suatu hal yang terpaksakan. Lukisan itu memang akan jadi lukisan, tapi apakah mungkin hal yang dipaksakan melukis akan menjadi hal yang luar biasa ? Aku rasa itu hal yang mengada-ngada kalau saja bilang iya.

Lupakan soal lukisan, sekarang kembali bagaimana aku lupa akan namaku. Saat itu aku benar-benar seperti ada dineraka, dan aku memilih untuk melukis untuk melewatkan neraka ku sejenak, tapi kenyataannya tidak ada ide yang tertuang dari otak ku. Otak ku makin berat, aku tertekan. Akhirnya aku memilih untuk jalan-jalan terlebih dahulu di jembatan melihat sungai, berharap ada inspirasi untuk lukisanku dan meringankan penderitaan hidupku. Saat itu aku jalan menunduk dan sengaja tak melihat lalu lintas di sekitarku, sampai ternyata aku tersadar klakson berbunyi cukup nyaring ditelinga ku. Mata ku terbelalak. Tubuhku rasanya mau melepaskan sendi-sendinya. Aku tertabrak, dan aku tak ingat dengan persis, yang pasti aku sadar aku tertabrak dan tiba-tiba saja aku hanyut dalam sungai. Ingat teman, saat itu aku masih hidup. Aku juga berulang kali coba berteriak minta tolong, namun apa daya tak ada satupun orang yang menolongku, sampai kepalaku ini terbentur batu yang sangat besar, dan aku rasa aku telah mati.

Aku bisa bercerita seperti ini bukan aku ingat kejadiaannya, melainkan ada yang cerita kepadaku, mengapa aku bisa seperti ini. Iya yang cerita iyalah dari sebangsaku, bukan manusia yang pasti. Dia hitam, besar dan ah aku tak mau mendeskripsikannya, nanti teman-teman malah tidak membaca tulisan ini jika aku mendeskripsikannya.

.....................................................................

Teman-teman aku minta maaf lagi jika aku telah membuat lembaran ini pada awalnya tidak enak dibaca, dengan memperkenalkan diriku yang sudah mati, Tapi aku minta tolong, jangan tinggalkan bacaan ini, ada yang mau aku sampaikan.

Jejak Langkah yang Kau Tinggal (SELESAI)Where stories live. Discover now