6. Biarkan Aku Menari!

22 22 5
                                    

Flora

"Mau minum apa ?" Tawar lelaki muda dengan rambut klimis mendekatiku dan tersenyum manis.

Aku tidak menjawab sambil masih memerhatikan orang-orang yang melantai tidak keruan.

"Mau minum apa ?" ulangnya lagi.

"Soda"

"Bentar" lelaki klimis tersebut meninggalkanku sejenak, sepertinya ia pelayan di bar ini.

Musik disini begitu keras. Ku lihat beberapa orang berkerumun mengikuti irama yang terbentuk. Aku yang baru sampai di sini, tersenyum licik melihat semua orang seolah tak ada beban mengikuti irama.

"Ini sodanya"

"Terima kasih" ku minum soda dan ku habiskan sekaligus.

"Ah" Aku telalu banyak meminum soda sampai berceceran di sekitar mulutku.

Seperti aku perlu yang lebih dari soda. Badanku sudah panasi melihat orang-orang melantai dengan musik gila seperti ini.

"Beri aku bir!!!"

Aku berteriak, semua seakan lepas beban yang ada di pundakku.

Aku melayangkan pandanganku ke sekitar. Begitu ramai. Semarak. Laki-laki berhamburan bersama wanita-wanita seksi dengan celana yang sangat minim dan pakaian yang sangat ketat yang tertawa keras, memeluk seenaknya, dan bahasa-bahasa tubuh yang sangat bergairah.

Lelaki klimis tersenyum melihatku dan menghampiriku memberikan gelas-ge;as bir yang aku minta. Aku pun menyambut bir dingin tersebut dan mengecapnya. Pahit. Mata ku aku sipitkan karena terlalu pahit. Namun perlahan pahit itu mulai hilang, kehangatan pada kerongkonganlah yang aku rasakan.

"Bagaimana ?"

"Bagaimana apanya ?" tanganku mulai mengalung di leher lelaki klimis tersebut. Otakku mulai beku. Semua rasanya melayang.

Musik mengentak lebih keras. Lebih liar. Aku ingin menari. Aku melepaskan kalungan tanganku dileher lelaki klimis dan bergabung dengan orang-orang kesetanan dengan irama yang semakin mengentak-entak.

"Apa yang akan kamu minta kepada Tuhan jika kamu akan diberi keanugrahan berupa bakat ?" tanya nenek kepadaku sesaat aku akan berangkat sekolah.

"Aku ingin bisa menggambar"

"Selain itu ?"

"Aku ingin bisa menari, entahlah mungkin dengan menari aku bisa bergerak sesuka ku" Nenek lalu tersenyum dan mencium pipiku.

Malam ini ciuman pipi itu benar-benar ada. Aku tak sadar siapa yang menciumku yang pasti aku ingin melantai dengan kesetanan. Ini membuatku lebih baik. Hentakan makin keras. Aku bisa merasakan tangan-tangan itu mulai bergerak. Irama makin liar. Aku bergerak seperti kesetanan, dan pusing mulai menjalar. Aku memegangi kepalaku dan aku terpejam. Sedikit keasadaran ku merasa, aku mulai dikerubungi banyak orang.

............................

Dimas

"Sepertinya dulu kamu pintar, mengapa sekarang menjadi bodoh seperti ini" aku memeras handuk kecil dengan air es yang ada di mangkuk setelah itu ku taruh di dahi si gadis pendiam.

Gadis pendiam hanya melenguh, sepertinya ia baru sadar.

"Siapa yang mengajarimu main ke bar ?"

Nafas gadis pendiam kali ini mulai terdengar lewat telinga.

"Bagaimana bisa dikondisi kamu hamil seperti ini bisa seenak saja perilaku mu, dua hari yang lalu mau bunuh diri, kemarin pingsan dibar, dan besok apa lagi" aku gerutu tanpa henti tanpa memperdulikan dia memanggil namaku pelan.

"Dimas" dia menyebut namaku untuk kedua kali, setelah yang pertama tak terdengar karena aku menggerutuinya.

"Ya ?"

"Minum" ucapnya sangat pelan, seperti mengeja.

Aku mengambilkannya dan membantu membangunkannya yang terlihat sangat lemas.

"Aku tidak suka hamil" ucapnya lirih.

..............................

Flora

Aku tergeletak lemas. Sangat lemas. Aku melihat samar-samar badan pria sedang memeras sesuatu lalu ditaruhnya didahiku. Sedari tadi pria itu bicara tanpa henti, aku tak tau apa yang dibicarakannya. Tak jelas di pendengaranku.

Dimas.

Aku sadar pria itu Dimas. Pria yang satu ini sekali lagi menyelamatkan hidupku. Masih sama dengan kemarin, aku tak tau harus ber terima kasih atau tidak pada pria yang sedang mengompres ku ini.

Dimas adalah teman SMA ku. Dia sangat jail. Dia selalu menggodaku padahal aku selalu cuek kepadanya, ralat bukan saja cuek kepada Dimas saja, melainkan cuek ke semua cowok yang mau menggodaku. Namun aneh Dimas menurutku, dia tidak menjauh seperti laki-laki lain yang perlahan mundur ketika mengetahui aku seperti tak berminat dengan laki-laki.

Selesai SMA, Dimas melanjutkan kuliah di Yogya, dan beruntung aku juga sama diterima di salah satu perusahaan di Yogya juga. Walaupun dikota yang sama, namun seiring berjalannya waktu hubungan kami, kontak antar kami mulai berkurang. Ya dia sibuk dengan tugas kuliahnya dan aku sibuk dengan kerjaanku. Sampai akhirnya kita benar-benar saling tak menghubungi.

Menginjak semester akhir Dimas kembali menghubungi ku, sayang aku sudah ada Andrea, lelaki brengsek yang merusak masa depanku kini. Dan disaat tak kuduga, Dimas yang datang kembali mengungkapkan perasaannya.

"Aku mencintaimu Flora"

Aku masih ingat, belum sempat ku jawab kata-kata itu, Andrea datang menjemputku dan di depan Dimas dia mencium pipiku, dan kata panggilan sayang terucap disana. Setelah mengetahui hal itu, Dimas hanya tersenyum tanpa memerdulikan jawabanku untuk pernyataan perasaannya. Setelah itu Dimas entah pergi kemana.

Dan sekarang, Dimas datang lagi setelah pertemuan tidak sengaja di jalanan ketika aku menyebrang tanpa fokus dan hampir tertabrak, Dimas ada disana dan menarik tubuhku dengan cepat kembali ke pinggir jalan. Dari situlah kami berteman kembali yang mungkin aku rasa, Dimas bukan Dimas yang mencintaiku dulu, sikapnya yang kurasa beda. Dia lebih dewasa, atau mungkin dia pandai menyembunyikan segalanya. Aku juga gak tau.

"Makan ya?" aku tersenyum ketika aku mengakhiri lamunanku. Aku mengangguk pelan. Dia menyuapiku.

Dimas, mengapa kau datang lagi, tidak sakitkah dengan perilaku ku dua tahun yang lalu?

Jejak Langkah yang Kau Tinggal (SELESAI)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt