15. Orang Lain

2.4K 436 113
                                    

Kikan menyodorkan gelas berukuran besar ada cewek berumur 22 tahun yang duduk di depannya. Matanya terlihat bengkak dengan hidung memerah, sementara di genggaman tangan kirinya terdapat tisu kusut yang sudah lepek bekas air mata.

"Sumpah Ki, dia enggak berubah-berubah."

Kalau tak salah hitung, ini kali kelima cewek itu mengunjungi tempat ini. Selalu sama, datang dengan wajah menangis, pesan minuman, lalu pulang. Dia sama sekali tak tergoda untuk berjoget di sana dengan dentuman yang Kikan tak bisa menyebutnya sebagai musik.

"Sesusah itu emang buat ninggalin?'

Karena yang memilih minum di meja bar hanya cewek itu saja, Kikan pun menanggapi keluhannya. Terkadang kegiatan lainnya memang seperti ini. Mendengarkan kisah-kisah berat dari orang yang bahkan tak dikenalnya. Mereka butuh meluapkan beban mereka yang tak bisa dilakukan di circle-nya sendiri karena tak ada yang bisa dipercaya. Klasik.

"Kalau gue lepas dari dia? Siapa yang mau pungut sampah kayak gue?"

Kikan mengangguk kecil. Ia paham situasinya. Mungkin jika Kikan boleh berkomentar tentang masyarakat kini, mereka terlalu naif.
Berkoar pegang budaya Timur, tapi tindakan sudah melegalkan budaya Barat.
Seks sebelum menikah dilarang dalam aturan Timur, tapi sekarang sudah lumrah dilakukan. Yang pada ujungnya perempuan yang paling dirugikan. Karena tololnya cowok yang sudah sering having sex mempermasalahkan virginity ketika memasuki jenjang pernikahan. Cewek yang gagal menjaga diri tentunya akan mendapatkan diskriminasi. Paham tetap Timur, mencela mereka yang tak sesuai tanpa berpikir bahwa tak akan pernah disebut salah jika tak keluar dari pemahaman. Dan dia bersalah.

"Katanya setiap orang pasti ketemu sama orang yang bisa menerima dia apa adanya. Kalau sekarang lo nggak bisa terima kelakuan dia, ya mungkin lo bukan orang yang cocok buat dia. Sebaiknya lo pergi, kasih tempat buat orang yang tepat. Begitu pun lo, cari di mana seharusnya lo menetap."

Cewek itu mengusap air matanya yang lagi-lagi muncul. Rasa sayangnya masih ada, namun sakit yang terus menyerang membuatnya terpincang untuk meraih kebahagian dari yang mereka sebut cinta. "Apa gue harus coba?" ungkapnya yang masih di ambang keraguan.

Kikan mengangkat bahu. "Terserah." Kikan hanya bisa menunjukkan arah, kemana nanti melangkah itu hak pribadinya. Meski terlihat tolol, tapi banyak orang yang memilih tetap bersimbah luka. Dan itu bukanlah hal yang harus Kikan cela. Sekali lagi ini hanya soal pilihan.

Cewek itu pun terdiam kemudian menenggak minumannya yang berkadar alkohol rendah. Masalah yang membawanya ke tempat ini. Dia tak punya pengingat, jika tempat ini bukanlah solusi.

"Kata Fero lo masih anak SMA?" tanya cewek itu tiba-tiba. Mengalihkan diri dari kemelutnya.

"Masih muda. Kenapa kerja di tempat kayak gini?"

Kikan hanya menarik senyuman. Tak berniat untuk menjawabnya. Biarkan pertanyaan itu itu lenyap bersama dengan dentuman-dentuman yang membuat sakit telinga, atau kesedihan cewek itu yang terlihat mulai memeluk erat.

Semua orang dengan pilihannya.

"Ki?"

Kikan menoleh, ada Fero yang sebentar lagi berganti shift dengannya. Ia membawa sebuah kotak berukuran sedang dengan pita biru yang menegaskan bahwa itu adalah sebuah hadiah.

Bad Person [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang