30. Gores Kenangan

2.2K 440 49
                                    

"Ya ampun, Neng. Kenapa kotor begini?" tanya Fatma begitu Saga juga Kikan sampai di kosan. Cairan telur yang berbau amis, ditambah dengan tepung yang sama sekali belum Kikan bersihkan, tentu membuat wanita paruh baya itu khawatir.

"Ulang tahun, Bu."

Wanita itu berdecak, raut cemas sebelumnya sirna, namun berganti dengan kesal. "Anak zaman sekarang malesnya minta ampun. Bukannya dikasih bolu malah mentahannya."

Kikan hanya menarik senyuman tipis.

"Bu, saya boleh ikut masuk?" tanya Saga sekaligus memotong mati pembahasan tentang telur-tepung. Melihat Kikan berbohong dengan ringan seperti itu membuatnya bertanya-tanya, apa Kikan memang sudah seterlatih itu terlihat baik-baik saja meski pada kenyataannya tidak.

"Oh boleh, tapi pintunya jangan ditutup ya."

"Iya, Bu. Makasih."

Mereka pun memasuki kamar Kikan. Saga menarik kursi yang waktu itu juga ia gunakan. Sementara Kikan mengambil pakaian ganti di lemari untuk dibawanya ke kamar mandi.

"Sorry. Gue nggak tega, Ki," ucap Saga mencoba mengajak bicara Kikan yang selama perjalanan bungkam. Mungkin marah padanya karena melanggar janji untuk tidak membantu Kikan ketika ada yang mengganggunya.

Kikan terdengar menghela napas. Ia terlihat menatap kosong sejenak. "Gue pengen banget bikin Vanya tersiksa sama rasa bersalahnya." Ada pendar marah meski yang ditunjukkan dominan raut sendu.

"Tapi lo juga kesiksa buat itu." Karena cara yang Kikan ambil itu sebenarnya menunjukkan dirinya yang tersiksa di depan Vanya. Hal seperti itu bahkan tak bisa dikatakan balas dendam. Apa Saga terlalu terlambat untuk menolong Kikan?

"Nggak apa-apa. Gue kan udah bilang baik gue sama Vanya kita imbang. Cuma nunggu siapa yang lebih dulu nyerah."

Saga benar-benar tak tahu harus membujuk dengan cara apa lagi gadis itu. Ini benar-benar bukan pilihan yang baik.

"Apa lo beneran yakin Vanya bakal ngerasa bersalah?" Saga bahkan merasa takut jika sebenarnya Kikan hanya menyiksa dirinya saja.

"Gue kenal dia bukan sebentar, kita deket banget." Kikan menarik senyuman getir. "Meski seseorang bisa bertindak sadis dalam sekejap, kepribadiannya nggak mungkin berubah."

Kikan menghembuskan napas kemudian membuang muka untuk menghindari tatapan Saga.

"Gue mandi dulu ya."

oOo

30 menit Kikan akhirnya keluar dari kamar mandi. Ia memakai sweater dengan celana selutut. Rambutnya masih tergulung handuk sementara mulutnya sibuk meniup luka di tangannya yang basah terkena air.

Kikan mengambil kotak obat dan membawanya duduk di pinggiran kasur. Ia mulai membukanya dan mengambil benda-benda yang diperlukan.

"Boleh gue yang ngobatin?" tanya Saga yang sedari tadi memperhatikan gerik gadis itu.
Kikan menoleh kemudian mengangguk tanpa ragu. Saga segera bangkit dan berjongkok di depannya. Ada syukur ketika Kikan kini memang percaya padanya.

Saga mulai meraih tangan itu. Luka sebesar ini. Memang tak terlalu dalam hingga harus dijahit namun bentuknya yang memanjang apalagi ini telapak tangan tentu bukan luka yang harusnya disepelekan. Saga mulai mengobatinya. Di samping itu ia memperhatikan baik-baik tangan Kikan. Ujung jemarinya tak kasar karena mungkin sudah tak lama dia tak bermain gitar, kegiatan yang tak bisa dipisahkan dengannya dulu. Namun jejak yang hampir sama justru beralih pada buku jarinya. Membuat Saga diam-diam mencengkeramkan rahangnya.

Bad Person [TAMAT]Where stories live. Discover now