23. Dia Datang

2K 423 90
                                    

"Makasih, Ga."

Saga mengangguk. "Kalau ada apa-apa, hubungin gue." Kemudian menyadari kata-katanya terlalu lancang. "Maksudnya sebelum Dhea sembuh. Lo bisa pake gue sebagai gantinya." Dhea sakit, bahkan katanya dilarikan ke Rumah Sakit. Saga kurang tahu jelas. Namun tadi pagi sebuah pesan beruntun memasuki ponselnya, yang berinti Saga harus menjaga Kikan, beserta ancamannya.

Kikan mengangguk kecil sebelum berbalik memasuki tempat kosnya. Tanpa menunggu Saga pergi dulu atau pun melambaikan tangan. Saga pun tak masalah dan melanjukkan motornya meninggalka tempat itu.

Kikan menyimpan tasnya, ia duduk di atas kasur kemudian melamun. Bagaimana hidup kembali berjalan sangat bajingan. Seletih apapun berusaha, semua kembali ke titik awal, berputar dengan utuh. Apa ini yang dinamakan takdir itu? Yang tak akan berubah sekeras apa pun berontak?
Jika benar, bukankah Tuhan terlalu jahat padanya?

Kikan mulai melepas balutan kassa di tangannya. Ia menatap luka di telapak tangannya. luka yang didapat karena lawannya semalam membawa pisau.
Tangan kanannya bergerak untuk mengukung tangan terluka itu. Perlahan ia mulai meremasnya, berjalan semakin kuat hingga luka yang mulai rapat itu kembali mengeluarkan darahnya.

"Gue nggak papa," gumamnya seraya menatap darah yang menetes-netes ke atas lantai.

"Gue masih waras," lanjutnya ketika ternyata ia masih bisa merasakan sakit yang tak sedikit di tangannya itu. Namun bukannya berhenti, Kikan malah seperti terlena dengan tindakkan itu. Setidaknya sakit di tangannya membuatnya sedikit teralih dan bisa rehat dari sakit tak nampak di dalam sana.

Darah yang keluar kian banyak, Kikan benar-benar akan berakhir konyol jika seseorang tak mengetuk pintu dan membuatnya jiwanya tersadar pada kenyataan.

"Neng, ada tamu," ucap Fatma dengan intonasi antusias seperti orang yang menemukan hal yang sudah lama dicari-cari.

"Tamu?" Yang tanpa sadar hal itu pun menjalar pada Kikan. Namun Kikan tak ingin langsung bereforia dengan sangkaannya. Meski jelas kalimat Fatma merujuk pada kemungkinan itu.

"Iya, anak laki-laki yang ada di foto."

Kikan membelalak, bahkan tanpa sadar langsung berdiri.

"Dia sekarang nunggu di ruang tengah."

Kikan hampir saja berlari ke tempat yang Fatma sebut jika tak ingat lukanya akan membuat orang khawatir.
Kikan membuka laci, mengambil botol alkohol kemudian menuangkan isinya seperti orang yang mencuci tangan. Kikan berdecak ketika masih ada darah yang keluar. Ia pun mengacak isi lagi untuk mengambil botol yang berupa sprai.
Kikan meringis ketika ia menyemprotkannya pada luka itu. Namun tak apa-apa ketika hasilnya jauh lebih baik. Terakhir, Kikan mengambil headband berwarna marun kemudian mengikatkannya pada luka.

Kikan segera berlari keluar dari kamarnya. Rongga dada yang sudah lama membeku itu kini mulai dihinggapi rasa hangat. Langkahnya memelan begitu matanya menangkap sosok itu. Sosok yang jauh lebih tegap dari terakhir berjumpa, 2 tahun lalu.

Pria itu menoleh dan tersenyum. Membuat Kikan mengucap syukur untuk pertama kalinya, setelah sekian lama.

"Gimana kabarnya, Ra?" tanya pria berusia 25 tahun itu begitu Kikan sudah duduk di kursi depannya.

"Ah pasti sulit ya?" sambungnya sebelum Kikan benar-benar menjawab.

Iya Kak, sangat sulit. Kikan hanya menggumamkannya dalam hati. Pertemuan ini terlalu berharga untuk membahas hal seperti itu. Lagipula dengan adanya Rendra di hadapannya, bukannya itu pertanda semuanya akan berakhir?
Maaf Tuhan, Kikan sempat meragukan kasih-Mu.

Bad Person [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang