7 | Lebih Baik Sakit Hati Daripada Sakit Gigi

10.1K 929 48
                                    

Belum habis terjangan badai mual muntah di sepanjang trimester pertama, aku masih harus menanggung cobaan berupa sakit gigi di trimester kedua tepatnya saat bulan kelima. Yah, aku memang malas sikat gigi terutama sebelum tidur. Aku sadar itu kebiasaan buruk. Namun, itu kebiasaan buruk yang masih sulit kuubah hingga aku sudah dewasa. Waktu aku kecil aku punya kebiasaan buruk mengkonsumsi makanan manis seperti permen dan coklat tapi malah malas menggosok gigi. Alhasil, aku sering sekali sakit gigi dan langganan ke puskesmas untuk periksa gigi– mungkin dokternya bahkan sudah hapal keluhanku tapi malas berkomentar karena aku bebal. Oleh sebab itu, tidak heran susunan gigiku jelek sekali bahkan di usia yang baru masuk kepala tiga gigi gerahamku sudah banyak yang bolong. Sudah seperti nenek-nenek saja– bahkan almarhumah nenekku saja giginya masih bagus hingga akhir usianya. Aku sekarang sudah kapok makan permen tapi tidak dengan coklat dan masih saja malas menggosok gigi.

"Kenapa, Yang?" tanya Mas Ganjar ketika melihatku masih terjaga di tengah malam. Dia kadang memang terbangun di sepertiga malam untuk menunaikan salat tahajud.

"Sakit gigi," keluhku sambil memegang pipi sebelah kanan yang rasanya aduhai.

"Sakit banget?" tanyanya prihatin.

"Ya, iyalah, Mas. Kalo nggak sakit banget aku nggak bakalan kebangun jam segini," rengekku nyaris menangis.

Gara-gara sakit gigi kepalaku serasa dipukul-pukul dari dalam. Bagian gigi yang sakit juga terasa seperti berdenyut seolah jantungku sudah pindah ke sana. Bagian rahang bawah juga ikut nyeri tak karuan.

"T-terus aku harus gimana dong?"

"Pokoknya begitu udah pagi, kita harus ke dokter atau ke puskesmas atau kemana aja lah buat cabut gigiku yang bolong ini biar aku nggak sakit lagi. Aku udah nggak kuat, Mas," rajukku.

"I-iya, iya. Siap. Nanti kita ijin aja ya nggak usah masuk kerja sampai keadaan kamu membaik. Sekarang kamu coba tidur dulu ya, Yang," bujuk Mas Ganjar lembut, membuatku tak tega melampiaskan kekesalanku atas rasa sakit yang kuderita kepadanya.

Aku akhirnya terus terjaga sampai pagi karena semakin aku berusaha untuk tidur semakin sakit gigiku. Aku berusaha membunuh rasa sakit itu dengan membaca Webtoon di ponselku dan berharap matahari benar-benar sudah terbit agar aku bisa segera periksa.

"Oh, Ibu sedang hamil? Sudah berapa minggu?" tanya dokter gigi bernama dr. Ilham yang memeriksa keadaan gigiku ketika aku datang ke tempat praktiknya di dekat rumah orang tuaku. Aku mengangguk.

"Dua puluh satu minggu, Dok," jawabku.

"Kalau begitu saya bersihkan saja ya. Gigi geraham yang sebelah kanan memang ada yang berlubang."

Aku mengangguk saja. Aku hanya ingin gigiku bisa segera sembuh dan bebas dari rasa sakit ini.

"Loh, Dok, gigi saya nggak dicabut sekalian?" tanyaku ketika dr. Ilham tidak melakukan tindakan apa pun selain membersihkan gigiku setelah memeriksanya.

"Tidak bisa, Bu. Ibu dalam keadaan hamil. Tindakan pencabutan gigi sangat berisiko bila dilakukan pada masa kehamilan," tolak dr. Ilham.

"Tapi gigi saya sakit banget, Dok. Saya udah nggak tahan. Saya sampe nggak bisa tidur semalaman," paksaku.

"Iya, Bu, saya tau. Sebenarnya cabut gigi bisa saja dilakukan saat kehamilan di trimester kedua tapi tindakan cabut gigi itu harus seizin dokter obgyn Ibu juga. Saya tidak ingin gegabah melakukan sesuatu yang bisa membahayakan janin Ibu."

Aku mengerutkan kening. Aku, yang gagap soal pengetahuan seputar dunia kedokteran, tidak mengerti korelasi antara cabut gigi dengan janin yang ada dalam perutku. Ini sedang membicarakan cabut gigi, kan, bukan cabut rahim? 

"Memangnya apa hubungannya, Dok, antara cabut gigi dengan janin saya? Apa bahayanya untuk janin saya?" tanyaku karena penasaran.

Dr. Ilham tersenyum. Beliau menjelaskan dengan sabar. "Cabut gigi di masa kehamilan, terutama di trimester pertama dan ketiga, bisa menyebabkan gangguan pada kehamilan, Bu, misalnya kelahiran prematur, cacat lahir, bayi kekurangan berat badan, bahkan keguguran. Oleh sebab itu, biasanya dokter gigi menyarankan untuk melakukan tindakan cabut gigi pasca melahirkan selama kerusakan giginya tidak parah."

"Oh." Aku hanya bisa mengangguk-angguk sok paham dengan penjelasan dr. Ilham meski tetap tidak bisa memahami korelasinya. Gigi ke rahim, kan, jauh kok bisa ngaruh?

"Saya merasa kerusakan gigi yang dialami Ibu belum parah sehingga saya pikir masih bisa diatasi dengan pereda nyeri. Nanti saya akan meresepkan obat pereda nyeri yang bisa dikonsumsi ketika sakitnya kambuh. Nanti dibantu sama kumur dengan air garam untuk mengurangi pertumbuhan kuman di gigi yang berlubang," papar dr. Ilham sambil menuliskan sesuatu di atas selembar kertas bertuliskan namanya dan alamat praktiknya di bagian atasnya.

"Ini, Bu, resep obatnya. Silakan ditebus di apotek di depan." Dr. Ilham memberikan kertas itu padaku. Aku pun mengangguk dan segera berpamitan begitu sesi pemeriksaan selesai.

Selesai makan siang yang dipaksakan– aku butuh makan hanya agar bisa mengkonsumsi obat pereda nyeri– aku meminum obat dari dr. Ilham. Obat itu tidak bertahan lama dalam mengatasi rasa sakit yang kurasakan hingga lagi-lagi aku merajuk pada Mas Ganjar.

"Aku bisa minum obatnya lagi nggak sih?"

"Yang, itu aturan minumnya cuma tiga kali sehari. Masa abis minum itu tadi terus mau minum lagi?" ucap Mas Ganjar.

"Ya, kan, belum tiga kali sehari," sanggahku.

"Tapi nggak gitu juga, Yang, cara minumnya. Inget, kamu masih hamil lho. Nggak boleh sembarangan minum obat."

Setelah perdebatan yang cukup sengit, aku memutuskan untuk tidur siang saja meski rasa sakit yang kualami masih menyiksa.

Esok paginya, aku justru makin stres karena pipi sebelah kananku membengkak besar sekali. Aku sulit membuka mulut sehingga aku sulit makan dan sulit bicara sehingga lagi-lagi aku harus izin pada Titi, manajer LPBIK tempatku bekerja, dan tidak bisa memperkirakan sampai kapan izinku akan berakhir. Aku sampai harus memfoto kondisiku dan mengirimkannya pada Titi untuk membuktikan bahwa aku memang sedang dalam kondisi memprihatinkan. Untungnya Titi maklum dengan kondisiku.

"Iya, Mbak, orang lagi hamil emang banyak yang sakit gigi kok," kata Nana, saudara sepupuku, ketika aku dan keluarga besarku berkumpul untuk memperingati hari kematian nenek kami. Saat itu kondisiku sudah membaik. Itu pun setelah penyiksaan selama seminggu yang kuharap takkan pernah terjadi lagi dalam hidupku.

"Oh, gitu ya?"

"Kalo kata orang-orang tua sih soalnya pas kita hamil itu bayi kita ngambil segala nutrisi dalam tubuh kita terutama kalsium buat bentuk tulang mereka. Makanya gigi ibu hamil memang seringnya sakit meski nggak pernah ada keluhan kerusakan gigi sebelumnya. Aku juga dulu gitu kok, Mbak," jelas Nana lagi.

"Iya, ngeselin banget. Padahal gigi ini bolong udah dari jaman belum hamil tapi pas sebelum hamil ya nggak papa, nggak pernah sakit. Giliran pas hamil malah sakit nggak karuan sampai bengkak padahal pas lagi hamil, kan, nggak boleh cabut gigi. Minum obat aja pilih-pilih," keluhku.

Nana tertawa melihat ekspresiku.

Jujur saja, ternyata jauh lebih sakit gigi daripada sakit hati. Sepertinya penyanyi dangdut yang mengatakan bahwa lebih baik sakit gigi daripada sakit hati belum pernah merasakan sakit gigi yang begitu menyiksa.

***

Benarkah ucapan Nana? Ibu hamil emang beneran banyak yang sakit gigi ya?

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATOù les histoires vivent. Découvrez maintenant