22 | Penyesalan (?)

8.7K 593 23
                                    

Melihat teman-temanku masih ada yang betah melajang membuatku mempertanyakan kembali keputusan menikah dan punya anak itu sudah tepat atau tidak. Apakah menikah memang tujuanku hidup di dunia ini? Apakah aku sudah bahagia dan lengkap dengan menikah? Apakah menjadi seorang ibu dan istri adalah jalan ninjaku eh jalan hidupku? Bukan menjadi hokage atau pendiri yayasan kaum rebahan misalnya?

Apalagi melihat beberapa teman yang lebih muda dariku sungguh membuatku iri. Mereka masih bebas main tanpa perlu sibuk mengurus suami dan anak, masih bebas menikmati waktu luang mereka, masih bebas dari kebosanan yang melanda karena sepanjang hari harus tinggal di rumah. Bahkan di antara mereka masih ada yang bebas gonta ganti pacar tiap enam bulan sekali. Itu kalo kuliah entah dia sudah ngumpulin berapa SKS. Mungkin sebentar lagi dia akan lulus dengan predikat cumlaude sebagai player. Sementara aku? Aku selalu disibukkan mengurus anak yang sedang aktif-aktifnya karena Zahira sudah dua tahun sekarang. Waktu luang? Boro-boro waktu luang, waktu untuk selonjoran barang sejenak untuk ngupil saja kadang tak ada sama sekali. Aku harus mengawasi dan menemaninya kemana saja dan ketika sedang apa saja karena Zahira belum mandiri melakukan segala hal sendirian. Bahkan bermain pun harus kutemani. Zahira sudah bisa ngambek kalau kucuekin. Bosan? Jangan ditanya lagi bagaimana bosannya aku selama di rumah. Apalagi aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah mertua daripada di rumah orang tuaku. Sejak Mas Ganjar mendapat pekerjaan lain dan resign dari LPBIK beberapa bulan lalu, kami memang sepakat lebih banyak tinggal di rumah mertuaku karena jarak tempat kerja baru Mas Ganjar lebih dekat bila ditempuh dari sana. Meski, ya, kesepakatan itu bagai dua sisi mata uang bagiku. Di satu sisi aku merasa jarak tempuh yang lebih dekat menguntungkan kami dalam hal ongkos sementara di sisi lain aku merasa jenuh karena aku tak bisa jalan-jalan kemana-mana seperti saat aku di rumah orang tuaku. Ya, rumah di kampung memangnya mau kemana? Mentok juga palingan lihat pemandangan sawah.

Kami memang harus banyak berhemat karena kami ingin punya usaha suatu saat nanti. Usaha butuh uang sebagai modal. Jadi itulah sebabnya kami harus rajin menabung. Keinginan kami yang lain adalah segera memiliki rumah sehingga aku selalu berdoa siang malam agar Tuhan lekas mengabulkan doaku.

Aku iri melihat teman-temanku yang masih single bisa bekerja dan punya penghasilan sendiri. Mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ya, Mas Ganjar bukannya suami yang pelit. Hanya saja dengan penghasilan yang tidak terlalu besar sementara pengeluaran kami dengan seorang anak balita cukup menguras kantong. Apalagi kini Zahira sudah resmi disapih. Otomatis selain diaper, susu juga menjadi anggaran belanja kami yang lain. Jadi aku juga tak pernah meminta macam-macam. Aku harus tahu skala prioritas. Itu cukup sulit mengingat dulu aku sempat jadi orang yang gila belanja. Hampir setiap pekan aku beli novel atau komik ke toko buku, nonton atau makan di kafe, beli baju online atau offline, beli tas, sepatu, dan beli pernik-pernik lain yang sebenarnya kubeli secara impulsif. Fatalnya kebiasaan belanja impulsif seperti itu karsinogenik atau bersifat menyebabkan kanker. Kantong kering.

Aku terkadang merasa ada sesuatu yang hilang dari duniaku. Aku tak lagi bisa seperti saat masih lajang dulu. Hidupku dulu berputar pada bangun tidur-buka hp (meski tidak ada yang mengirim pesan)-tidur lagi saat libur. Lalu terkadang siklus itu berubah menjadi bangun tidur-buka hp-makan-kerja-pulang kerja-makan-tidur lagi. Atau bisa juga menjadi bangun tidur-buka hp-makan-belanja-nonton-baca komik ketika akhir pekan dan berganti-ganti lagi tergantung kebutuhan. Aku benar-benar hidup seenaknya. Aku hidup sesukanya seolah tanpa tujuan. Bahkan dulu Mbak Anggia, salah seorang temanku saat Diklat Bank Nusantara yang juga tetangga sekomplek, berkata padaku seperti ini, "kamu kalo punya suami gimana ya, Mir?"

"Gimana apanya, Mbak?"

Aku punya ovarium kok. Aku juga masih lurus. Aku juga nggak jelek-jelek amat. Masa segitunya sih menyangsikan aku punya suami.

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now