21 | Jangan Sakit Ya!

7.4K 631 10
                                    

"39.3° Celcius," gumamku sambil melihat angka yang ditunjukkan termometer.

Aku menggigit bibir bawahku. Merasa tak yakin dengan hasilnya, aku mengulang pengecekan suhu tubuh Zahira dengan termometer. Wajahku makin pias saat melihat hasilnya ternyata juga masih sama.

"Panas bange." Aku menggumam lagi.

Sepanjang malam itu aku gelisah. Aku tak bisa tidur padahal Mas Ganjar bahkan sudah mendengkur sejak tadi. Kulihat Zahira tak tenang dalam tidurnya. Bolak balik dia miring kiri, miring kanan, telentang, tengkurap. Merengek. Kususui. Tenang. Kemudian begitu lagi seperti siklus.

Tapi saat pagi menjelang Zahira justru masih terlelap. Mungkin karena semalaman dia susah tidur. Kusentuh dahinya, masih panas. Kemudian dia merengek lagi. Kususui lagi. Tenang lagi. Tapi tidak dengan hatiku.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Ganjar saat hendak berangkat kerja.

"Zahira panas banget," jawabku, "dari semalam."

"Oh. Biasanya gimana?" Mas Ganjar masih santai.

"Dikasih paracetamol."

"Oh, ya udah. Nanti dikasih paracetamol aja. Semoga bisa cepet turun panasnya. Biasanya juga ga papa kan?"

Aku mengangguk lalu mencium tangan Mas Ganjar yang diulurkannya seperti biasa sebelum berangkat kerja.

"Aku berangkat dulu ya. Nanti kalo ada apa-apa telepon aja atau Whatsapp. Tapi semoga dedek ga papa."

"Aamiin." Aku mengamini dengan lirih dan senyum yang dipaksakan. Entah kenapa perasaanku tidak enak.

Mas Ganjar mengacak rambut di puncak kepalaku lalu mengecup keningku dan bersiap menyalakan motor. Aku melambaikan tangan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Aku pun segera mengecek keadaan Zahira begitu Mas Ganjar sudah berlalu pergi. Tubuhnya makin panas. Tidurnya gelisah sekarang. Aku coba mengompresnya dengan air hangat. Panasnya turun sementara. Setidaknya sampai siang hari. Tapi dia sama sekali tidak mau makan dan tidak mau ditinggal olehku sehingga rencanaku untuk mencuci baju hari itu gagal total.

"Kok Zahira panas?" tanya ibuku saat menggantikanku menggendong Zahira karena aku kebelet pipis. Oh ya, kebetulan saat itu aku sedang di rumah ibu.

"Iya." Aku menjawab sekadarnya. Aku khawatir memang tapi tak mau panik. "Tapi udah dikasih paracetamol kok."

"Oh." Dan ibu tidak berkomentar lagi. Aku mengambil Zahira dari gendongan ibuku.

Menjelang sore aku makin khawatir karena panas tubuh Zahira meninggi lagi. Bahkan keesokan harinya panas itu masih belum turun meski sudah kuberi paracetamol. Ditambah lagi Zahira malah diare dan masih menolak makan. Aku makin kalang kabut. Kuperiksakan dia ke dokter dan hanya diberi obat yang bahkan tidak memberi efek apapun sampai dua hari berikutnya.

"Zahira mending dibawa ke rumah sakit aja deh," kata ibuku saat melihat Zahira merengek tak karuan di kasur, menungguku mengganti diaper-nya. Dia terlalu lemas untuk kuceboki di kamar mandi.

"Itu badannya udah lemes gitu. Kalo digendong aja nunduk terus kepalanya. Dia mencret terus, kan?" tanya ibuku tampak kasihan melihat Zahira kuyu karena berhari-hari tak mandi gara-gara badannya panas dan juga karena lemas akibat diare.

"Buruan dibawa sebelum dehidrasi. Bisa bahaya lho. Nanti kalo ada apa-apa kamu nyesel-"

Di detik itulah bayangan-bayangan buruk berkelebat di kepalaku. Aku bergidik ngeri sambil berdoa agar tak satu pun di antara bayangan-bayangan buruk itu yang terjadi sungguhan. Saat itu juga aku langsung berkemas, memesan taksi online untuk mengantarkan kami- aku membawa Zahira ditemani ibuku- ke rumah sakit, dan bersiap berangkat. Aku hanya menulis pesan singkat pada Mas Ganjar via Whatsapp.

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now