2 | Apa Itu Menikah?

17.1K 1.2K 35
                                    

Apa yang salah dengan menjadi single di usia 26— oke, nyaris 27 tahun? Memangnya ada pernyataan kalau usia segitu masih single itu melanggar Undang Undang Dasar Haluan Negara atau Undang Undang Dasar Haluan Rumah Tangga? Apakah menjadi single di usia nyaris 27 tahun adalah tindakan kriminal? Bukankah menikah itu adalah hak setiap warga negara? Kalau pun aku memilih untuk tidak menikah atau menunda menikah sampai jangka waktu yang tidak ditentukan itu juga bukan kesalahan, kan?

Sejujurnya aku tak pernah benar-benar ingin menikah. Aku selalu bertanya-tanya kenapa orang butuh dan harus menikah. Buatku punya penghasilan saja sudah cukup. Dengan punya penghasilan semua beres. Hasrat biologis? Aku cukup terpuaskan dengan membaca novel Harlequin halu dan komik hentai yang aku pinjam dari rental komik. Yah, aku memang senajis itu. Tapi seenggaknya aku ga kayak temen kuliahku yang sampe koleksi film bokep sampe bergiga-giga byte di laptopnya. Dia cewek loh. Cewek! Kalo aku jadi emaknya pasti aku udah kawinin dia daripada ngehalu sama bokep. Lebih parah lagi kalo dia nonton bokep sama pacarnya trus dipraktekin. Kan mending seret ke KUA aja sebelum malu-maluin keluarga.

Aku pernah pacaran tentu saja. Beberapa kali. Dan semuanya gagal total ke jenjang yang lebih serius. Lebih tepatnya, aku bersyukur semuanya gagal. Aku tidak bisa membayangkan aku akan menikah dengan cowok yang masih kekanakan seperti Radit, mantan pacarku waktu kuliah dulu. Dia pacar pertama dan terlama, 2.5 tahun. Ya, pacaran terlamaku cuma 2.5 tahun. Dia kusebut kekanakan karena ngambek saat nilai ujianku lebih bagus dari punyanya. Dia menuduhku tidak kooperatif saat ujian dan mendiamkanku berhari-hari. Sementara saat nilai ujianku kalah dibanding miliknya, dia mengataiku. What a jerk! Untung saja aku lulus duluan.

Aku juga tidak mau menikah dengan cowok yang punya mental kere seperti Igo, mantan pacarku yang kedua, yang kupacari cuma setahun. Bagaimana tidak kukatai mental kere saat dia meminjam motorku berhari-hari tanpa peduli dan bertanya apa aku butuh memakai motor itu atau tidak sementara saat bensinnya habis dia mengajakku ke SPBU agar aku membayar pembelian bahan bakar. What an asshole!

Saat umur 25 aku pernah punya pacar– sebut saja namanya Dedi. Kami berpacaran selama setahun. Dia dari keluarga terpelajar. Kedua orang tuanya PNS, saudara-saudaranya punya pekerjaan bagus– adiknya bahkan bekerja di Dirjen Pajak, dia sendiri pun punya pekerjaan mapan. Tapi entah kenapa, saat aku berharap dia yang terakhir, sekonyong-konyong dia menuduhku selingkuh. Padahal hidupku hanya seputar kantor-rumah-kantor-rumah plus rental komik di akhir pekan. Aku yang punya harga diri setinggi langit langsung mengiyakan keputusannya mengajak putus. Pun saat dia memohon-mohon minta balikan karena sudah salah sangka, aku tetap bersikukuh tak mau. Enak saja. Memang dia pikir dia siapa? Aku juga bisa cari pacar lain. Herannya, dia tetap nekat datang ke rumah bersama keluarganya dan melamarku selang dua hari setelah dia mengatakan putus. Tentu saja ibuku juga dibuat tak bisa berkata-kata. Untungnya ibuku tidak begitu saja mengiyakan lamaran Dedi. Ibuku berdalih harus menanyakan kesediaanku dilamar terlebih dulu karena aku sudah menceritakan pokok permasalahannya sebelum Dedi dan keluarganya datang.

Dedi juga makin menambah panjang daftar mantan pacarku yang aneh. Dia pernah berkilah saat kutanya perihal keseriusan hubungan kami.

"Itu, nggg, ibuku pengen aku kerja dulu," begitu katanya.

Mohon maaf, emang kalo dia nikah sama aku, dia jadi nggak usah kerja gitu? Enak aja. Terus nanti aku makan apa? Makan gunjingan ibu-ibu komplek yang nanti bakal ngatain aku kawin sama pengangguran? Lalu aku juga tergelitik karena dia membawa-bawa ibunya sebagai alasan. Dia bahkan memberi penekanan pada kata ibu. Helo, dia sudah 26 tahun saat itu– ya, dia lebih tua satu tahun dariku– dan dia laki-laki. Masa apa-apa ibunya yang masih ambil kendali. Jangan-jangan nanti kalo nikah, ibunya juga yang mengatur rumah tanggaku harus begini dan begitu. Oh, ini dibayangkan saja sudah mengerikan!

Dan sepertinya kesialanku mencari jodoh terus berlanjut. Mungkin aku memang LDR dengan jodoh karena tak kunjung mendapat pacar bahkan hingga usiaku 27 tahun. Aku seolah tidak pernah masuk daftar perempuan yang patut dijadikan pacar atau calon istri oleh siapa pun. Akhirnya aku pun menyerah di usia 27 itu. Biarlah tangan Tuhan yang bekerja menjalin benang takdirku. Aku sudah lelah.

***

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now