8 | Keputusan Sepihak

13.7K 1.1K 31
                                    

Aku baru bisa selamat dari terjangan "badai" mual saat bulan ketujuh kehamilan. Tapi sebagai gantinya, aku mendapat terjangan "badai" napsu makan yang besar. Aku yang biasanya cukup makan dengan porsi nasi kaepsi, sekarang baru bisa kenyang dengan porsi kuli. Aku yang biasanya tidak pernah mau makan nasi padang yang dibawa pulang karena porsinya terlalu banyak untuk kumakan sendiri justru memilih membeli nasi padang yang dibungkus sejak hamil agar aku bisa puas menikmatinya.

"Bawaan bayi, Mas," jawabku ketika Mas Ganjar membelalak tak percaya dengan perubahan porsi makanku.

Alih-alih marah, dia justru tersenyum dan malah bilang, "Bagus deh daripada muntah terus," sambil menepuk-nepuk puncak kepalaku.

Tapi kenyamanan ini tidak berlangsung lama. Oh ya, hamil tidak semudah itu, Marimar! Cobaannya berlapis seperti wafer Tango. Kalau memplesetkan judul film, bisa dibilang cobaan selama hamil itu adalah cobaan-ception. Cobaan itu makin berat karena aku adalah makhluk yang tidak suka olahraga. Sudah pasti ini adalah sebuah tantangan.

Di trimester akhir ini segalanya berubah. Napsu makan masih menggelora tapi tidak berbanding lurus dengan kekuatan fisik. Usia kandungan yang makin tua, membuat seluruh tubuh terutama persendian rasanya subhanallah. Napasku mulai pendek-pendek. Aku mengalami kesulitan bernapas saat bicara  apalagi saat tidur. Posisi tidur pun jadi tidak seleluasa sebelumnya. Miring kanan salah, kiri salah, telentang salah, tengkurap pun tidak mungkin. Belum lagi ditambah nyeri punggung dan perut begah. Kalau sudah begitu aku cuma bisa mengucap syukur karena "nikmat" ini sebab tidak semua perempuan bisa merasakan "kenikmatan" yang luar biasa ini.

Nggak papa, Mir, ini, kan, yang diidamkan para wanita yang belum diamanahi jadi ibu. Sabar. Tinggal hitungan minggu lagi.

Aku selalu menghibur diri di kala segala nyeri dan pegal itu melanda dan nyaris mengeluh karena kehamilanku itu. 

Aku sudah mengajukan cuti saat usia kehamilanku memasuki usia 8 bulan. Namun, aku baru merasakan keputusan itu salah karena harusnya aku cuti mepet hari persalinan saja apalagi saat Mas Ganjar memberikan keputusan sepihak yang sejujurnya tak kusetujui.

"Kita pindah ke rumah orangtuaku aja, Yang," begitu katanya suatu hari. Tanpa preambule, tanpa tedeng aling-aling, tanpa aba-aba.

"Kok?" Aku ancang-ancang melancarkan konfrontasi.

"Usia kandungan kamu udah 8 kan? Aku nggak bisa selalu jagain kamu di rumah karena harus kerja. Kalau ada apa-apa gimana? Bulan depan kamu juga melahirkan. Lagian kamu juga udah cuti. Kita nggak perlu sering-sering mampir ke rumah kamu lagi." Mas Ganjar mengemukakan alasannya.

"Loh, aku kira aku bakal mempersiapkan persalinan di rumah sakit deket rumah ibu?" protesku.

"Aku rasa kita lebih baik pindah ke rumah orang tuaku dulu aja. Di sana banyak yang bisa bantu kamu kalau ada apa-apa. Kalau di rumah ibu kamu, kan, sepi. Cuma ada bapak sama ibu yang sudah sepuh. Kalau lahiran di sana nanti siapa yang bantu jagain anak kita? Masa orangtua kamu yang udah sepuh disuruh jagain anak?" papar Mas Ganjar.

"Tapi, Mas, rumah ortuku itu lebih deket sama pusat kota jadi kalau butuh apa-apa gampang. Kalau ada keadaan darurat juga lebih gampang cari transportasinya. Kalau di sini–"

"Yang, aku yakin di sana kamu lebih aman."

"Maksud kamu apa, Mas? Aku jelas ngerasa lebih aman dan nyaman di rumahku sendiri lah." Nada bicaraku mulai meninggi.

"Pokoknya aku pengen kita pindah ke rumah orang tuaku dulu sementara. Titik." Mas Ganjar tidak mau dibantah lagi.

Lihat, inilah masalah utamaku. Sifat keras kepala suamiku. Meski dia sebenarnya adalah sosok suami yang baik, aku baru tahu kalau ternyata Mas Ganjar keras kepala luar biasa pasca menikah. Padahal dulu aku merasa dia lelaki yang sabar dan cenderung suka mengalah. Apa semua orang memang berubah setelah menikah? Atau aku hanya belum tahu sifat aslinya?

Lalu aku terbayang cerita Nuya, salah satu teman kuliahku, yang bercerita tentang pengalamannya ikut mertua.

"Aku dulu baru melahirkan langsung ngapa-ngapain sendiri; masak sendiri, nyuci sendiri, ngurus anak sendiri. Ibu mertuaku seolah nggak peduli sama aku mentang-mentang aku di sana nggak bareng anaknya. Suamiku waktu itu, kan, langsung berangkat ke Kalimantan karena nggak dapet cuti terlalu banyak."

"Kenapa kamu nggak pulang ke rumah ortu kamu aja, Nuy?"

"Bapakku, kan, waktu itu masih dirawat di rumah sakit karena stroke, Mir. Keluargaku pada sibuk ngurusin beliau. Jadinya nggak ada yang bisa bantu aku. Dibawa ke mertua berharapnya dibantuin, eh ternyata malah apa-apa sendiri. Tau gitu aku tadinya pulang ke rumah ortuku aja. Meski nggak ada yang bantu seenggaknya, kan, itu rumahku sendiri," cerita Nuya. 

"Untung waktu itu kamu lahirannya normal ya, Nuy."

"Iya. Kalo caesar aku pasti nggak tau harus gimana deh. Makanya aku bertekad suatu saat nanti aku harus jadi mertua yang baik buat menantuku. Apalagi anakku, kan, cowok."

Sejak sesi curhat dengan Nuya itu aku jadi merasa horor setiap kali membayangkan aku akan tinggal menetap di rumah mertua sebentar lagi. Kebetulan masa kontrak rumah kami juga hampir habis sehingga kami tidak tahu sampai kapan kami akan menetap di rumah orang tua Mas Ganjar. Aku jadi mengira-ngira bagaimana rasanya tinggal di rumah mertua, bersama keluarga suamiku, di tempat yang cukup jauh dari kota. Apa keputusan Mas Ganjar itu akan merugikanku? Apa mertuaku akan setidakpeduli mertua Nuya? Apa aku bisa melewati masa-masa kehamilan dan melahirkan dengan tenang di sana?

***

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATDove le storie prendono vita. Scoprilo ora