13 | Pilihan

9.6K 801 14
                                    

"Udah siap?" tanya Mas Ganjar padaku yang masih mematut diri di kamar.

Aku mengangguk lalu sahutku, "Sudah," lalu aku segera keluar kamar mengikuti dirinya yang lebih dulu keluar kamar.

"Beneran nih Zahira nggak usah diajak?" tanyaku.

Mas Ganjar mengangguk yakin. "Nggak papa. Lagian kasian kalo diajak pergi jauh, kan, masih kecil. Yang penting dikasih tau aja kalo ayah sama ibunya mau pergi."

"Ibu nggak papa kalo dititipin—"

"Yang," Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya, "ibu tuh malah seneng banget kalo dititipin momong cucu. Buat hiburan. Tuh liat. Liat wajahnya dedek aja ibu seneng banget, kan?" Mas Ganjar menunjuk ibunya yang sedang menimang Zahira di teras rumah.

Benar, wajah ibu mertuaku memang terlihat berbinar saat menimang Zahira. Kadang ibu juga ikut-ikutan membuat mimik lucu untuk menghibur Zahira. Zahira pun kadangkala menanggapinya dengan memberi senyuman lebar atau tertawa dengan suara yang menggemaskan. Pemandangan yang menyenangkan. Sering juga bapak mertua atau kakak iparku ikut nimbrung menggendong Zahira. Membuat mimik atau suara-suara lucu. Tak jarang juga menyanyikan tembang-tembang Jawa untuk meninabobokan bayi sambil menidurkan Zahira di ayunan yang dibuat dari jarik dan digantungkan di kusen pintu. Biasanya kalau sudah begitu, Zahira akan tertidur lelap tak lama kemudian.

"Bu, mau pamit ke kantor." Mas Ganjar berpamitan pada ibu mertuaku. Beliau membiarkan Mas Ganjar mencium tangannya tapi perhatiannya justru terarah padaku.

"Lho, udah mulai berangkat kerja lagi?"

"Nggak, Bu." Aku juga mencium tangan ibu. "Saya nggak kerja lagi."

Ibu mengernyit heran.

"Mira mau berhenti kerja." Mas Ganjar akhirnya menjelaskan. "Ini ke kantor cuma mau nyerahin surat pengunduran diri dan pamitan sama temen-temen kantor yang udah kayak saudara sendiri. Nggak enak kalau nggak pamitan."

"Oh." Ibu mertuaku mengangguk.

"Kok nggak kerja lagi?" Tiba-tiba bapak yang keluar dari dalam rumah ikut menimpali. "Sayang lho punya ijazah nggak dipake buat kerja."

"Mboten, Pak. Nanti saja kalau Zahira sudah agak besar. Kalau masih segini kasihan kalau ditinggal-tinggal," alasanku.

"Lho, nggak papa. Nanti, kan, bisa dititipin di sini kalau simbah yang di sana udah nggak kuat ngurusin," ucap bapak mertuaku yang membuatku sedikit terharu karena ketulusan ucapannya.

"Mboten napa-napa, Pak. Masa saya malah ngerepotin orang yang sudah sepuh. Orang tua udah repot kok malah dititipin anak bayi," paparku.

"Ya sudah kalau sudah begitu keputusannya. Yang penting kalau ada apa-apa bilang saja, mau kembali kerja bilang saja," kata bapak mertuaku akhirnya.

Aku mengangguk lalu berpamitan pula pada bapak. Ah ya, setelah tempo hari diberi pengertian oleh Mas Ganjar, bapak akhirnya memaklumi dan menerima pemberian ASI melalui pumping bila aku kembali bekerja. Tapi kini malah aku yang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan demi Zahira.

Aku mengambil Zahira dari gendongan ibu mertuaku.

"Dek, ayah sama ibu pergi dulu ya. Dedek ikut mbah uti sama mbah kakung dulu sebentar. Jangan rewel ya," pamitku pada Zahira sambil mencium kedua belah pipinya yang ginuk-ginuk.

Zahira menyambut pamitku dengan senyum lebarnya. Dua tangan kecilnya memegang pipiku seolah ingin berkata 'hati-hati di jalan ya, Bu'. Aku pun mengembalikan Zahira ke gendongan ibu mertuaku.

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now