14 | Kunjungan Ke Rumah Ibu

9.1K 776 39
                                    

Ini bukan kunjungan pertama sebenarnya. Sudah beberapa kali aku, Mas Ganjar, dan Zahira ke rumah ibu karena akhirnya Mas Ganjar memutuskan untuk "menggilir" posisi kami setiap dua minggu sekali agar kedua nenek-kakek Zahira- baik orang tua Mas Ganjar maupun orang tuaku- bisa melihat Zahira dengan adil. Yah, meski adil itu kadang relatif buat sebagian orang. Dua minggu bagi orang tuaku dianggap terlalu sebentar untuk menimang cucu. Apalagi mereka selalu beralasan kalau tempat kerja Mas Ganjar lebih dekat dari rumah orang tuaku daripada rumah orang tuanya sehingga mereka pikir lebih praktis jika kami tinggal menetap di rumah orang tuaku. Aku pun sebenarnya berpikiran sama. Namun, yah, keputusan tetap ada di tangan Mas Ganjar sebagai kepala keluarga. Jadi aku hanya mengikuti apa yang dikatakan Mas Ganjar saja.

"Kamu sudah kerasan tinggal di kampung sekarang?" tanya ibuku yang biasanya tak kujawab karena mengandung unsur jebakan.

Biasalah, perempuan kalau mengajukan pertanyaan memang selalu seperti memasang perangkap. Kalau dijawab nanti akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain, kalau tidak dijawab tetap akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih pedas. Lagipula istilah kampung seperti terdengar merendahkan seolah itu adalah suatu tempat antah berantah di zaman Paleolitikum. Ibu juga sengaja memberi penekanan pada kata itu ketika bertanya tadi seolah memang itulah fungsinya: merendahkan.

Memangnya kita lahir di mana kalau bukan di kampung, Bu? jeritku dalam hati.

Bukannya kakek-nenekku juga sama-sama orang kampung? teriak batinku.

Padahal desa tempat Mas Ganjar berasal tidak seterpencil itu sebenarnya. Listrik, jalan beraspal, rumah bata, bahkan mobil pun sudah jamak di sana jadi kalau mengucapkan kampung dalam bentuk peyorasi sepertinya tidak tepat. Kampung zaman sekarang, kan, tidak sama dengan kampung puluhan tahun lalu.

"Kok baru sekarang ke sini lagi?"

Nah, kan, apa kubilang. Padahal jelas-jelas tidak kujawab pertanyaannya tapi tetap saja ada pertanyaan menjebak.

Ya, waktu itu memang aku baru berkunjung ke rumah ibu setelah empat minggu kemudian- yang sudah pasti dipermasalahkan ibu- karena Zahira sempat demam seminggu lamanya pasca imunisasi. Dan bukan ibuku namanya kalau hanya meneror saat aku sudah di depan mata. Saat sudah pekan kedua aku belum kunjung ke sana, ibu sudah menerorku via pesan singkat- ibuku belum kenal Whatsapp waktu itu dan hanya tahu BBM padahal BBM sudah tiada- dan telepon untuk menagih janji kapan akan berkunjung.

"Aku, kan, sudah bilang kalo Zahira sempet demam abis imunisasi-"

"Pas kapan tuh Zahira juga sempet demam tapi malah kamu tetep pulang ke rumah mertuamu."

Aku menghela napas. Sepertinya ini akan berlangsung agak lama.

"Emang ya suamimu itu sukanya maksa. Seenaknya sendiri. Ngatur. Kalo di sini maunya cepet. Kalo di sana maunya lama. Di sana, kan, mau beli apa-apa jauh. Kemana-mana akses jalannya susah. Kok malah lebih suka tinggal di sana-"

Aku pura-pura tuli lalu melenggang ke kamar.

Ah ya, sedikit cerita. Sebenarnya ibuku itu memang agak sedikit sensitif- kalau tidak bisa dibilang benci karena benci terdengar frontal- pada suamiku. Meski merestui pernikahan kami, ibu terlihat tidak suka pada Mas Ganjar. Apalagi di awal pernikahan Mas Ganjar terlihat agak keras kepala terutama saat aku hendak melahirkan.

"Biasanya semua ibu memang begitu, Mir," kata Naras, salah satu teman kuliahku, saat aku curhat perihal perilaku ibuku yang kadang memang ajaib itu beberapa saat sebelum menikah.

"Ah, masa sih?" Aku tak lantas percaya.

"Iya, ibuku juga gitu waktu aku mau nikah. Apalagi aku anak satu-satunya. Ibuku jadi kayak ngambek gitu pas tau aku nikah. Kayak nggak ikhlas ngelepas anaknya buat hidup sama orang lain."

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATحيث تعيش القصص. اكتشف الآن