17 | Balada GTM

7.3K 722 18
                                    

Ketika Zahira memasuki usia MPASI, jujur saja, itu adalah suatu cobaan bagiku. Sudah kubilang, kan, kalau aku ini adalah ibu yang malas. Aku ini tipe rebahan. Aku juga tidak bisa memasak. Jika ibu-ibu lain biasanya niat sekali memasak khusus untuk anak mereka ketika anak mereka sudah masuk usia MPASI, aku justru santai sekali. Biasanya aku hanya membelikan bubur bayi yang banyak dijual di jalan-jalan untuk sarapan Zahira. Sementara untuk makan siang atau makan malam, biasanya aku memberikan bubur instan yang biasa dijual di warung-warung atau toko-toko yang diiklankan di televisi dengan bintang iklan bayi yang lucu dan gemuk. Tentu saja aku yang selalu jadi korban iklan ini berharap dengan diberikannya bubur bayi instan untuk Zahira maka Zahira juga bisa jadi lucu dan gemuk. Oh, Zahira memang sudah lucu dan cantik tentu saja. Tapi, seperti yang sudah kujelaskan di bab sebelumnya, berat badan Zahira memang sulit untuk naik karena dia sering sekali demam di satu tahun pertamanya.

Pernah suatu kali aku ke posyandu dekat rumah kemudian aku ditegur oleh petugas posyandu.

"Bu, ini berat badan anaknya kurang ya?" katanya saat menimbang Zahira di timbangan dari karung (aku tak tahu apa namanya tapi memang timbangan anak di posyandu memang dari karung, kan?).

"Emang berat badannya berapa, Bu?" tanyaku penasaran. Maklum, aku malah lebih suka membaca Wattpad atau Webtoon daripada membaca buku posyandu yang berwarna merah jambu itu. Kebiasaanku saat masih single memang susah hilang.

"Harusnya kalau untuk anak 9 bulan itu berat badannya sekitar 9 kilo. Ini masih 7 kilo."

Si petugas posyandu itu menatapku yang sedang manggut-manggut sok pintar dengan tatapan mencurigai. Mungkin dalam benaknya aku tidak pernah memberi anakku makan. Padahal tidak. Tidak salah. Kalimat tersebut hanya kurang tepat. Aku tidak pernah memberi anakku makan dengan makanan yang pantas. Ingat, kan? Aku ini mageran. Dan jangan lupa kenyataan bahwa aku ini tidak bisa memasak. Jadi aku selalu memilih cara yang praktis untuk memberi Zahira makan. Ya, dengan beli bubur atau menggunakan bubur instan itu dengan harapan Zahira bisa lucu dan gemuk seperti bayi di iklan bubur bayi.

Lagipula dengan berat badan 7 kilo saja aku sudah kepayahan saat menggendong Zahira. Lalu bagaimana kalau berat badannya 9 kilo sementara dia belum bisa berjalan? Berat badannya hampir setara dengan satu kantong beras yang biasa dibeli ibuku. Saat ibuku menyuruhku membawa kantong beras saja aku pasti ingin protes karena berat, bagaimana aku harus membawa seorang bayi dengan berat setara setiap hari tanpa bisa menolak atau protes karena dia anakku?

Sampai akhirnya aku kena karma karena ke-santuy-anku perihal memberi makan ini. Aku dibuat kelimpungan karena Zahira yang biasanya setiap sarapan bisa menghabiskan dua cup bubur bayi, ini habis setengahnya saja tidak. Istilah kerennya GTM alias Gerakan Tutup Mulut. Begitupun ketika siang dan malam. Zahira hanya makan sedikit sekali. Kadang aku memang memberinya cemilan berupa buah atau biskuit bayi. Tapi aku merasa Zahira tak mungkin kenyang dengan porsi buah dan biskuit. Dia menurun dariku soal porsi makan: porsi nasi padang dibawa pulang.

"Mas, ini kenapa deh dedek jadi nggak mau makan?" tanyaku pada Mas Ganjar padahal jelas-jelas yang mengurus Zahira setiap harinya adalah aku, bukan suamiku, tapi aku malah bertanya padanya.

"Lah, tadi gimana?" Nah, kan. Mas Ganjar justru balik bertanya.

"Tadi pagi nggak mau makan. Yang biasanya makan dua cup penuh, tadi abis setengahnya doang. Itu juga karena dipaksa. Andai dia bisa ngomong udah protes pasti. Mukanya bete banget gitu."

"Terus dikasih apa gitu nggak buat gantiin makan? Nyemil?"

"Aku kasih buah. Tadi juga dikasih roti."

"Mau?"

"Ya mau sih tapi nggak sampe abis."

"Kenyang kali, Yang. Kamu jejelin gitu. Perutnya, kan, masih kecil. Daya tampungnya belum banyak kayak perut kamu yang berlemak itu." Mas Ganjar mengolokku sambil menahan tawa.

"Eh, kenapa jadi bawa-bawa lemak perutku? Lemak perutku tersinggung nih."

"Edan!" Mas Ganjar tak kuasa menahan tawanya yang tak pelak membuatku ikut tertawa.

"Ssstt. Nanti dedek bangun ih!" Aku mengingatkan dengan menaruh jari telunjuk di depan bibir. Mas Ganjar reflek menutup mulutnya.

"Udah, coba aja besok lagi. Kita beli bubur lagi yang rasanya beda. Mungkin udah bosen sama yang biasa." Mas Ganjar berbicara sambil berbisik.

"Aku, kan, beli buburnya emang rasanya ganti-ganti, Mas." Dan entah kenapa aku juga berbicara dengan bisik-bisik.

"Oh, iya ya?" Mas Ganjar menyadari kebodohannya. "Ya udah pokoknya coba aja lagi besok. Mungkin tadi dia lagi kenyang aja."

"Oke." Aku membentuk huruf O dengan ibu jari dan jari telunjukku. "Ini kenapa kita jadi bisik-bisik gini sih?" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kan, kamu bilang jangan berisik nanti dedek bangun." Mas Ganjar masih saja bicara dengan nada bisik-bisik.

"Oh iya."

Kemudian aku mencoba lagi keesokan harinya. Esok harinya lagi. Esok harinya lagi. Dan esok harinya lagi. Napsu makan Zahira hilang macam cewek lagi patah hati diputusin pacar.

"Padahal badan nggak anget loh. Berarti dedek nggak meriang, kan, ya, Mas?"

"Ya harusnya nggak."

"Terus kenapa dedek masih nggak napsu makan?" Aku bertanya gemas.

Mas Ganjar mengedikkan bahu. "Apa kita bawa ke tukang pijet aja? Siapa tau badannya ada yang nggak beres?"

Ah ya, soal pijat memijat ini memang sudah tradisi di kampung suamiku. Kalau ada anak kecil yang susah makan biasanya mereka akan dibawa ke dukun bayi slash tukang pijat yang termahsyur di kampung. Orang-orang tua percaya anak yang susah makan biasanya ada yang "salah" dengan perutnya sehingga harus dipijat. Cara ini dipilih agar anak tidak terlalu banyak mengkonsumsi obat. Meski ada vitamin penambah napsu makan, tidak semua anak bisa membedakan mana obat mana vitamin— apalagi jika bentuknya serupa— yang akan berakibat anak akan ketakutan. Anak-anak biasanya fobia obat karena dalam pikiran mereka obat itu pahit. Padahal lebih pahit perasaan orang tua mereka yang tidak punya uang saat anak-anak meminta jajan atau naik odong-odong.

Sampai akhirnya kami membawa Zahira ke dukun bayi slash tukang pijat itu keesokan harinya. Zahira dinyatakan baik-baik saja. Bocah bayi itu bahkan tampak menikmati pijatan yang mampir ke badannya.

"Terus masalahnya apa?" Aku masih tak habis pikir dengan hilangnya napsu makan Zahira yang tiba-tiba itu.

Ibu mertua tiba-tiba menyahut, "Coba kasih makan nasi aja sama ikan atau ati ayam. Tapi agak dilembutin dikit. Kan, Si Beng baru punya dua gigi."

Dan kata-kata itu membuat bohlam lampu di kepala kami— aku dan Mas Ganjar— menyala terang.

"Kenapa nggak kepikiran ya?"

"Aku kepikiran sih, Mas," kataku sok pintar, "tapi masa sih dedek udah bisa makan nasi, kan, gigi baru tumbuh dua?"

"Cobain aja lah daripada makannya kurang. Tuh dari kapan tau nangis mulu, kan, makanya? Mungkin karena jatah makannya kurang."

Akhirnya kami pun menyuapi Zahira dengan nasi, sayur bayam, dan ikan. Tau bagaimana reaksi Zahira? Seporsi makanan itu habis dilahapnya tandas tak bersisa.

"Oalah, kamu tuh minta disuapin nasi to, Nduk?" Mas Ganjar mengusap-usap kepala Zahira. "Kamu persis ibumu ..." Mas Ganjar berbisik, "nggragas!"

"Mas!" Aku melotot ke arah Mas Ganjar yang cengengesan sementara Zahira tertawa senang.

"Oalah, anak ibu udah gede ya. Maunya makan nasi."

Dan seolah mengerti bahasaku, Zahira menganggukkan kepalanya dengan gerakan lucu.

-

Catatan:

• nggragas = rakus

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now