12 | Lelah

10.6K 987 22
                                    

Menjalani hari-hari sebagai seorang ibu tak pernah terbayang dalam hidupku— bahkan tak pernah terbayang dalam mimpi teranehku sekalipun— sebab aku dulu mengira akan menikah di atas umur 30 tahun dan mungkin baru akan punya anak di rentang usia 35-40 tahunan. Aku akan punya anak ketika memang sudah siap— bahkan, seingatku, aku dulu tidak pernah bercita-cita punya anak karena punya anak sangat merepotkan. Aku sadar tidak akan pernah ada kata siap sebelum kita— dalam hal ini, aku— benar-benar memulainya. Jadi ketika akhirnya aku melahirkan di usia 31 segalanya jadi terasa— entahlah, mendadak mungkin.

Zahira, anakku, tiba-tiba menangis pukul dua dini hari.

Omong-omong, kami mendapat nama itu di detik-detik menjelang prosesi akikah akan dimulai pekan lalu. Luar biasa santai untuk ukuran orang tua baru yang biasanya selalu excited menyambut kehadiran buah hati pertama. Tapi nama itu punya makna yang baik. Cantik. Semoga kelak Zahira memang benar-benar menjadi anak yang cantik— lahir dan batin. Amin. 

Ah ya, kembali pada cerita. Bayi baru lahir ternyata lebih suka tidur. Aku pikir ini bagus karena aku juga suka sekali tidur. Tapi bagian "mengerikan"-nya adalah— aku sudah memberi tanda kutip pada kata mengerikan jadi kamu pasti tahu maksudnya apa— bayi juga sering sekali merasa haus. Bahkan bila bayi tertidur cukup lama, si ibu harus membangunkan si bayi agar si bayi tetap terjaga nutrisinya karena satu-satunya asupan gizi si bayi adalah dari ASI. Kalau si bayi tidak dibangunkan untuk diberi ASI nanti dia akan kekurangan asupan makanan. Dan itu semua ... melelahkan. Iya, melelahkan.

Tiap dua jam sekali aku harus menyusui bahkan meski itu di pagi buta. Tak jarang pula Zahira terbangun dini hari kemudian mengajakku bermain. Wajahnya memang lucu sih tapi harus menolak ajakannya bermain sebab aku mengantuk sekali setelah seharian aku masih harus terjaga mengurusnya untuk sekadar mengganti popok dan menyusuinya. 

"Sabar aja, Mir. Bayi baru lahir emang belum tau perbedaan siang sama malam. Waktu Faeyza bayi dulu juga dia gitu. Tengah malem bangun. Pagi buta bangun. Ngajak mainan. Yang penting ga usah ditanggepin aja," nasihat Tita.

"Nangis dong entar dia?"

Saat itu aku menelepon salah seorang teman kuliahku sekaligus sahabatku, Tita, yang tinggal di luar kota. Sudah lama sekali kami tak saling berkirim kabar. Kupikir tak ada salahnya menghubunginya sekalian bertanya-tanya hal-hal seputar cara mengasuh bayi pada yang sudah berpengalaman.

"Nggak kok. Kasih pengertian aja, Mir, kalo ini masih pagi jadi dedek bobok lagi. Gitu."

"Emang tau?"

"Taulah. Sama aja kayak janin diajak ngobrol gitu. Meski nggak saling tatap muka tapi bayi kita yang di dalam perut tau, kan?"

"Hmm, gitu ya?"

"Iya. Coba aja lo bilang begitu. Dek, ini masih malem. Dedek bobok lagi aja ya. Terus lo elus-elus kepalanya atau sambil ngaji atau sholawatan juga boleh biar bayi lo anteng."

"Oke deh nanti kucoba." 

"Eh, omong-omong, nama anak lo siapa? Kok gue sampe lupa nanya sih?"

"Zahira."

"Artinya apa?"

"Cantik."

"Wah, bagus banget. Semoga jadi doa yang baik juga buat anak lo ya," pungkasnya sebelum kuaminkan doanya dan kututup sambungan teleponnya dengan tergesa-gesa karena Zahira lagi-lagi menangis.

Jujur saja, tubuhku sangat lelah dengan perubahan aktivitas yang seperti ini. Dulu, jangankan terbangun di malam hari, sudah siang saja kadang aku masih susah bangun sampai-sampai ibu harus menggedor pintu kamarku agar aku terjaga. Rutinitas ekstrem seperti ini rasanya terasa melelahkan jiwa dan raga. Apalagi kondisiku pasca melahirkan belum pulih seutuhnya. Aku sudah bisa beraktivitas tapi bukan yang berat-berat. Rutinitas mencuci baju masih ditangani oleh Mas Ganjar. Sementara untuk menggendong dan mengganti popok Zahira, aku sudah bisa menanganinya sendiri meski belum mahir memandikannya.

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now