26 | Bye Bye 👋

7K 614 32
                                    

Inilah akhir dari ceritaku. Ceritaku di pondok mertua maksudnya. Ya, akhirnya setelah bersabar selama enam bulan, kami berhasil mengumpulkan uang untuk mengontrak rumah selama setahun ke depan.

Rumah yang kami pilih dekat dengan kantor Mas Ganjar yang baru. Aku pikir lebih praktis kalau kami mengontrak rumah di dekat kantornya. Lebih hemat energi dan bensin. Meski sebenarnya jarak kantornya dari rumah orang tuanya bisa ditempuh dalam waktu tiga puluh menit, tapi aku merasa kami perlu mandiri sesegera mungkin begitu keadaan finansial kami sudah lebih baik.

Rumah yang kami pilih itu sederhana. Tidak terlalu besar. Rumah itu memiliki dua kamar tidur ukuran sedang dan satu kamar tidur ukuran kecil, kamar mandi+WC, ruang makan, ruang tamu yang agak lebar sehingga bisa disekat untuk ruang keluarga, dan dapur. Ada teras di bagian depan rumah. Kami berdua memang tidak terlalu suka rumah yang besar. Ya, alasan utamanya sih sudah pasti biaya kontraknya lebih murah. Kalau kami memilih rumah dengan ukuran besar biaya kontraknya juga semakin mahal. Alasan lainnya aku tidak perlu terlalu repot membereskan rumah apalagi Zahira juga kadang masih susah ditinggal sehingga nantinya bisa menghambatku merampungkan pekerjaan rumah. Rumahnya masih bagus karena memang belum lama dibangun tapi sudah tidak ditempati karena si empunya merantau ke Jakarta bersama keluarganya. Oleh sebab itu, si empunya rumah memutuskan untuk mengontrakkannya saja. Hitung-hitung dia masih bisa mendapat penghasilan sekaligus ada yang merawat rumahnya. Bagian plusnya adalah rumah itu masih punya halaman depan yang cukup luas seperti rumah impianku dan Mas Ganjar selama ini. Si empunya rumah juga baik hati karena ada beberapa furnitur yang ditinggal di sana dan bisa kami pakai. Kebetulan sekali kami memang belum punya sofa, meja kursi makan, kulkas, dan perabot-perabot besar. Kami harus menabung lagi untuk membeli itu semua kelak kalau kami sudah benar-benar punya rumah sendiri. Ada juga beberapa peralatan dapur yang masih bersih yang ditinggal di sana.

Aku benar-benar seperti merasa bebas dari belenggu begitu kami bisa mengontrak rumah sampai-sampai aku merasa perlu merayakannya. Tapi keputusan untuk mengontrak rumah justru menimbulkan problematika tersendiri bagiku. Ada kecemasan pada diriku perihal bagaimana nantinya kehidupanku pasca benar-benar keluar dari rumah mertua dan orang tua. Aku yang tidak terbiasa bangun pagi, aku yang tidak terbiasa memasak karena memang tidak bisa, aku yang tidak tahu apa yang harus dilakukan seorang istri dan ibu di pagi hari harus menghadapi masalah pelik: bagaimana aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku esok hari sementara aku tidak bisa memasak sama sekali?

"Muka kamu pucet banget, Yang? Kenapa? Belum makan?"

Aku menggeleng.

"Sakit?"

Aku menggeleng lagi.

"Kebelet eek?"

"Astaga! Masa kebelet eek sih, Mas?"

"Ya terus apa dong? Dari tadi aku nanya dijawab gelengan terus. Ya mungkin aja kebelet eek, kan. Kalo emang kebelet ya udah eek aja dulu." Mas Ganjar berkata dengan wajah tanpa dosa.

Aku memutar bola mata. Kesal.

"Aku ga papa."

"Oh, ya udah." Mas Ganjar menyahut santai. Dia malah kembali sibuk mengepak barang-barang yang akan kami bawa ke rumah kontrakan.

Dasar ga peka, batinku.

Tapi aku memang sengaja menyimpan masalah ini sendiri. Ini konflik internalku. Aku tak mau membuat Mas Ganjar repot. Dia, kan, harus bekerja lagi untuk esok hari padahal sudah dua hari dia menyiapkan rumah kontrakan kami agar siap ditempati. Mana mungkin aku tega mengusiknya dengan masalah seperti ini.

Beruntung kami sempat berbelanja di pasar dekat rumah mertuaku sebelumnya sehingga kami sempat menyetok bahan makanan di rumah. Yang jadi masalah, aku mau masak apa?

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now