5 | Aku Hamil?

16.7K 1.3K 24
                                    

"Selamat, Bu. Anda positif hamil," begitu kata dokter Obsgyn bernama dr. Mita yang sudah jadi langgananku bahkan sebelum aku hamil— aku punya masalah dengan menstruasi yang selalu menyebabkan rasa sakit yang menghambat aktivitasku.

"Hah?" Aku membelalak ngeri.

"Sudah enam minggu, Bu," imbuh dr. Mita sambil tersenyum. "Saran saya jaga kesehatan dan pola makan. Tetap rajin berolahraga dan minum air putih. Bulan depan kontrol lagi ya, Bu."

"Enam minggu, Dok?" Aku masih tak percaya.

"Iya." Sang dokter tersenyum.

"A-aku hamil?" Aku menghadap pria di sebelahku. Pria itu tersenyum cerah sambil mengangguk semangat.

"Aku hamil, Mas?"

"Iya, Sayang."

Aku lalu menjerit, "Tidaaaaaakkk!" hingga pria itu dan sang dokter kaget.

Mas Ganjar mengelus-elus punggungku saat aku berteriak bak orang gila.

"Maaf, Dok, kami permisi dulu. Terima kasih."

Sang dokter mengangguk dengan wajah yang tidak bisa didefinisikan.

"Kamu kenapa sih?" tanya Mas Ganjar padaku sekeluarnya dari rumah sakit tempat dr. Mita biasa praktik.

"Aku hamil, Mas." Aku menangis tergugu. Beberapa pengunjung rumah sakit melihat kami dengan tatapan aneh. Mungkin mereka berpikir kami ini bukan pasangan sah. Hamil bukannya senang kok malah nangis frustrasi dan teriak-teriak seperti orang depresi.

"Iya, kamu hamil. Harusnya kamu bahagia dong, Sayang."

"Tapi, tapi aku belum siap. Nggak, nggak, aku bukan belum siap. Aku nggak siap. Nggak akan pernah siap. Punya anak itu merepotkan." Aku berkata di sela isak tangisku.

"Hush, jangan ngomong gitu ah. Kalo punya anak repot kenapa ortu kita punya anak lebih dari empat?"

"Tapi itu, kan, ortu kita. Ortu jadoel emang berprinsip banyak anak banyak rejeki. Lah, kalo sekarang banyak anak banyak biaya, Mas. Susu mahal, diapers mahal, mainan mahal, sekolah mahal. Gimana coba?" cerocosku tak henti.

"Astagfirullah. Nyebut, Sayang. Anak itu rejeki. Kamu nggak liat banyak orang di luar sana pengen banget punya anak sampe rela keluarin banyak duit buat bayi tabung? Kita harusnya bersyukur dong. Udah, kamu nggak usah khawatir." Mas Ganjar tak henti-hentinya menenangkanku. 

"Tapi kalo hamil nanti aku bakalan ngerasa mual, muntah, pusing, pegel, nggak bisa tidur, kaki kram, bengkak, badan melar, stretch mark. Trus kalo melahirkan bakalan punya mata panda karena kurang tidur, payudara kendor–"

Mas Ganjar menjentik dahiku hingga aku mengaduh kesakitan.

"Kalo kamu mikir punya anak repot, hamil repot, ya bakal repot beneran. Tapi kalo kamu mikir sebaliknya ya nikmat-nikmat aja. Kayak malem pertama. Sakit tapi nikmat dan dapet pahala."

"Dih, analogi apaan itu? Ngaco!"

"Analogi paling gampang buat masuk ke otak kamu yang udah butek." Aku manyun mendengar ejekan Mas Ganjar yang eksplisit itu. "Udah, berpikir positif aja. Nikmatin. Insya Allah dapet pahala. Salah satu keistimewaan perempuan itu juga termasuk hamil. Banyak pahalanya." 

Aku cemberut. Tapi perkataan Mas Ganjar memang ada benernya juga sih. Walau agak "terpaksa" menerima kenyataan bahwa aku hamil tapi di sisi lain aku juga penasaran dengan janin dalam kandunganku. Sembilan bulan lama ya?

***

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now