23 | Double Trouble

7.1K 602 25
                                    

Rumah memang harganya mahal. Tapi ada yang lebih mahal dari sekadar rumah: masa depan anak. Ya, masa depan anakku, Zahira. Saat pillowtalk, ketika Zahira sudah tertidur lelap, aku mengajukan mosi keberatan pada Mas Ganjar setelah dua tahun hinggap berpindah-pindah di rumah orang tua kami.

"Sabar, Yang, uangnya belum cukup buat beli," jawabnya waktu itu saat kuajukan keinginan untuk punya rumah sendiri.

"Aku ga minta kamu beli. Seenggaknya ngontrak dulu kek-" aku memilin-milin dasterku di bagian perut, "-atau ngekos juga ga papa."

Mas Ganjar menghela napas berat. "Yang, kamu tau sendiri, kan, uang tabungan kita belum cukup juga buat ngontrak. Kalo ngekos bukannya malah ga sehat ya?"

"Ga sehat gimana?"

"Ya, satu rumah dihuni banyak orang gitu. Macem-macem pula karakter orangnya. Kita juga ga tau mereka baik atau ga."

Aku memasang wajah sedih dan kecewa. Mas Ganjar mengelus kepalaku dan menyenderkan kepalaku ke bahunya.

"Maaf ya," ucapnya lirih. "Aku juga pengen kita cepet punya rumah sendiri, Yang, tapi waktunya belum tepat. Seenggaknya kita punya usaha dulu. Uang tabungan ini kita jadiin modal dulu buat usaha biar bisa nambah. Biar bisa cukup buat ngontrak rumah."

Aku terdiam. Aku tahu mungkin aku terkesan terlihat seperti istri penuntut. Dan aku tahu ini memang berat untuk suamiku. Aku tahu dia memikul beban dan tanggung jawab besar.

"Apa aku kerja lagi aja?" tanyaku sambil mendongak ke arah Mas Ganjar.

"Kamu udah siap emangnya?"

Aku menggeleng lemah. "Aku belum bisa ninggalin Zahira. Aku ga mau."

"Aku juga ga mau bebanin kamu sama sesuatu yang udah jadi tanggung jawabku." Dia mengelus kepalaku lagi, "Sabar dulu sebentar lagi, ya."

"Tapi-" Aku merasa ragu melanjutkan kalimatku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kamu jangan marah kalo aku ngomong ini," pintaku.

"Ngomong aja belum gimana mau marah?" Dia tersenyum.

"Ya udah, ga jadi. Daripada nanti kamu marah beneran."

"Lah, kenapa mesti marah?"

"Janji ya!"

Mas Ganjar mengangguk-angguk yakin. "Kenapa sih?"

"Aku ga suka sama anak-anaknya Mbak Retno. Rezi sama Reza. Mereka itu bisa memberi efek buruk buat Zahira, Mas. Mereka tuh nakal. Ga bisa dikasih tau. Aku punya ponakan empat ga gitu-gitu amat kayaknya."

"Oh, itu-" Mas Ganjar menghela napas. "Gimana ya? Itu sih kayaknya emang ndablek udah dari sononya, Yang. Ndablek-nya natural, dari lahir. Udah dari DNA. Jadi ini tuh emang buah dari pembiaran di masa lalu, pas mereka masih kecil. Kedua ortu mereka juga kemungkinan ngasih andil atas kenakalan mereka. Emang susah dibenerinnya."

Sebagai informasi, Mas Ganjar ini dua bersaudara. Dia punya seorang kakak perempuan yang tinggal bersama kami, di rumah orang tuanya, dengan dua anak laki-laki yang memiliki selisih usia 6 tahun. Si sulung bernama Rezi berusia 11 tahun sementara si bungsu bernama Reza berusia 5 tahun. Si sulung duduk di kelas 3 SD dan si bungsu baru akan masuk TK. Si sulung sedikit memiliki kekurangan karena daya pikirnya lamban, tidak seperti anak-anak sebayanya, karena dulu pernah demam tinggi dan kejang otak. Beruntungnya nyawanya masih tertolong. Namun, lemahnya daya pikir si sulung berakibat pada lemahnya menangkap nilai-nilai budi pekerti luhur yang sering diajarkan keluarga dan buku PPKn. Itu juga berdampak pada kecakapan bicaranya. Menurut cerita Mas Ganjar, Rezi baru bisa bicara di umur 4 tahun. Sampai sekarang pun, kosa kata Rezi juga masih terbatas untuk anak usia 11 tahun.

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now