1 | Quarter Life Crisis

25.2K 1.4K 65
                                    

Usiaku 26 tahun saat itu– nyaris 27 tahun. Itulah masa-masa krisis dalam hidupku karena aku tidak punya pekerjaan gara-gara nekat mengundurkan diri dari PT. Bank Nusantara tanpa persiapan apa pun. Saat itu aku memang terlalu percaya diri, terlalu takabur, terlalu sombong.

Mana mungkin aku menganggur lebih dari enam bulan. Aku, kan, mantan pegawai sebuah bank BUMN terbesar di Indonesia. Pengalaman kerja selama tiga tahun pula. Mana ada yang mau menolak lamaran kerjaku, begitu pikiran takaburku.

Tuhan tahu aku sombong sehingga aku perlu disadarkan dengan hukuman. Jangankan enam bulan, aku bahkan baru mendapat kerja setelah sebelas bulan. Terlebih lagi aku masih menyendiri setelah setahun putus dari pacar terakhirku. Ibuku jadi makin khawatir– lebih tepatnya muak karena akulah satu-satunya anaknya yang terlihat tidak berguna dan tidak ada tujuan hidup.

"Kamu, kan, udah 27 tahun, Mir," seperti biasa, ibuku membuka percakapan dengan prolog yang sudah kuhapal.

"Baru mau, Bu," ralatku.

"Yaelah, tinggal beberapa bulan lagi kok," sahut ibu gemas. "Adek sepupumu sudah menikah semua lho. Udah pada punya anak—"

"Bu, mereka emang adekku tapi secara silsilah. Ibu, kan, anak tertua di keluarga. Tapi tetep kalo secara umur, mereka lebih tua. Wajar lah kalo udah pada nikah," dalihku.

Itu memang benar. Sejak pakdeku meninggal beberapa tahun lalu, praktis ibukulah yang jadi anak tertua di keluarganya— ibu adalah anak kedua dari enam bersaudara. Itu akhirnya membuat kami— aku dan kedua kakakku— juga menjadi cucu tertua di keluarga ibu karena pakde dan budeku tidak memiliki anak. Kalau Mbak Ajeng dan Mbak Anjani memang secara usia lebih tua dari sepupu-sepupuku yang lain tapi aku terhitung muda karena ada dua adik sepupuku yang empat dan dua tahun lebih tua dariku. Itu terjadi karena aku dan dua kakakku memiliki jarak lahir yang cukup jauh. Kedua sepupuku memang sudah menikah dan dikaruniai masing-masing dua anak. Namun, ada dua adik sepupuku yang lebih muda yang sudah menikah juga tapi aku tidak pernah iri sama sekali. Namanya juga jodoh. Kita, kan, nggak bisa nebak mana yang dapet duluan.

"Tapi kamu udah 27 tahun loh, Mir." Kembali Ibu menekankan frasa dua-puluh-tujuh-tahun seolah itu adalah jawaban kuis di televisi yang bisa membuat presenternya berteriak 'selamat, Anda mendapat dua juta rupiah dipotong pajak'.

"Baru mau, Bu," koreksiku lagi.

"Tapi intinya sebentar lagi usia kamu mau kepala tiga. Tiga tahun lagi kamu udah 30 tahun. Sekarang kamu malah nganggur, luntang-lantung nggak jelas, udah gitu nggak punya pacar. Rencananya kalo kamu masih nggak kerja, ibu mau nyuruh kamu nikah aja tapi kalo nggak ada pacar mau dinikahin sama siapa coba?" cerocos ibu yang terdengar tanpa titik koma.

"Masih ada 1.095 hari menuju 30 tahun, Bu. Tenang aja."

"Nah, kalo kamu ketemu jodoh atau ketemu kerjanya pas udah hari ke 1.100 gimana coba?"

Ibuku memang sulit didebat. Dia adalah juara debat tingkat kecamatan dan kota sehingga pandai mencari celah untuk mendebat sedangkan aku tipe orang yang malas berdebat sekali pun bisa. Ayah dan kedua kakakku saja lebih memilih menghindari perdebatan dengan ibuku daripada harus terjadi debat kusir.

"Kakak-kakakmu, kan, udah nikah semua. Tinggal kamu yang belum. Kalo kamu udah nikah, kan, Ayah Ibu bisa lega. Udah mentas semua."

"Bu, emang kenapa sih kalo 27— maksudnya, baru mau 27 belum nikah? Masalah ya?"

"Ya masalah. Kamu 27 aja belum nikah terus mau punya anak umur berapa? Nanti kamu udah tua, udah payah, tapi masih punya anak kecil. Apa nggak repot? Itu kakakmu nikah umur 27 baru punya anak umur 36. Kalo gitu kejadiannya gimana coba? Nah, kamu malah mau 27 belum punya calon juga terus mau nikah kapan? Punya anaknya kapan?"

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now