9 | Omongan Tetangga

13K 1.1K 38
                                    

Beberapa minggu kemudian, sampai tibalah saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia– Oh, maaf. Itu pembukaan UUD 1945. Maksudnya sampai tibalah saat aku melahirkan tepat sehari setelah lebaran. Jangan tanya bagaimana rasanya. Rasanya nano-nano sekali. Nano-nano antara bahagia, sedih, dan galau. Bahagia karena akhirnya aku melahirkan anakku dengan selamat melalui proses operasi caesar. Sedih karena aku tidak bisa merayakan lebaran di rumah seperti biasanya. Galau karena memikirkan bagaimana kelak aku tinggal di rumah mertua pasca melahirkan. Ah, rasanya semua ini terasa sulit bagiku. Jujur saja, meski aku tipe orang yang cuek tapi aku bisa saja jadi overthinking terhadap hal-hal kecil. Yah, meski tinggal-dengan-mertua-untuk-waktu-yang-tidak-dapat-ditentukan tidak termasuk hal kecil sih.

Dan ternyata memang fakta bahwa ibu pasca melahirkan didera banyak masalah itu benar adanya. Bukan mitos. Makanya banyak juga ibu yang akhirnya kena baby blues syndrome bahkan ada yang berujung pada perbuatan kriminal. Nauzubillah.

Well, ini sebenarnya tak lepas dari kebiasaan orang Indonesia yang terlalu ramah dan peduli pada orang lain sampai-sampai mereka senang mengurusi urusan orang lain. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan peduli pada orang lain seperti tetangga atau saudara. Namun, terkadang cara yang mereka gunakan itu menyakitkan. Mereka terkadang menggunakan bahasa yang tidak enak seperti admin lambe turah bahkan cenderung menghakimi alih-alih peduli. Tidak jarang mereka juga cenderung membandingkan keadaan mereka dengan keadaan orang lain yang tentu saja berbeda.

Waktu itu aku tidak bisa langsung memberi ASI karena ASI-ku pampat sampai hari kelima sementara bayiku udah menangis-nangis minta menyusu. Orang-orang yang menengok bukannya bersimpati malah justru menyudutkanku.

"Duh, kok bisa sih ASI nggak keluar sampe lima hari padahal dulu waktu aku melahirkan bisa langsung keluar kok." Begitu kata salah satu tetangga di rumah mertua, entah siapa namanya aku lupa.

Setelah tetangga yang satu itu ada lagi yang lain yang nyeletuk, "Itu pasti gara-gara minum obat dokter  karena lahirannya operasi. Coba kalo lahirannya normal pasti gampang. Iya, kan? Dulu aku lahiran lima kali dan lima-limanya normal semua. Nggak pernah ada kejadian ASI mampet begitu."

Wow. Tunggu dulu. Yang minta melahirkan dengan operasi itu bukan aku tapi dokter. Kenapa? Karena saat itu posisi bayiku sungsang dan aku mengidap hipertensi. Dokter khawatir akan terjadi pre-eklampsia yang mana kalau aku melahirkan dengan cara normal bisa perdarahan. Lagipula mataku juga minus. Orang bermata minus sepertiku– aku minus 3– biasanya cenderung berisiko ketika melahirkan normal meski dokter lebih menyorot pada masalah posisi bayiku dan hipertensiku yang memiliki porsi urgensi lebih besar untuk melahirkan secara Caesar. Itu menurut dokter. Dokter yang lebih tahu. Kenapa orang-orang lantas dengan entengnya menghakimi? Tidakkah mereka berpikir bahwa di setiap tindakan medis pasti ada alasan keselamatan di baliknya?

Mulut para tetangga dan orang-orang sebelah rumah mertua yang diakui Mas Ganjar sebagai saudara itu juga tak hanya nyinyir soal ASI-ku yang pampat. Kakiku juga jadi salah satu bahan gunjingan mereka. Iya, selama melahirkan kedua kakiku memang membengkak cukup parah. Selama trimester ketiga, hal itu memang menjadi keluhanku terutama ketika hendak tidur karena kaki bengkak ini membuatku pegal. Alhasil, jika aku hendak tidur aku harus mengganjal kedua kakiku dengan bantal. Padahal selama hamil aku selalu berusaha untuk jalan-jalan berkeliling komplek ketika di rumah orang tuaku atau jalan-jalan mengitari sekitar rumah ketika di rumah mertua. Aku selalu melakukan itu setiap pagi. Namun, karena memang masalah kehamilanku, kakiku tetap saja bengkak. Aku bahkan sampai lupa bagaimana bentuk kakiku sebelum hamil karena sudah cukup akrab dengan bentuk kakiku yang bengkak.

"Itu kaki kenapa bisa sampe bengkak begitu? Nggak pernah jalan kaki ya?" tuduh salah seorang tetangga— yang sepertinya— juga saudara jauh kami.

"Iya, bengkaknya kok sampe parah begitu sih? Pasti makannya sembarangan ya?" tuduh yang lain tanpa perasaan tanpa mereka tahu bahwa aku justru sempat tidak bisa makan nasi beberapa bulan lamanya karena terjangan badai mual yang hebat.

"Kalau bengkak begitu biasanya kebanyakan makan yang garam-garam. Aduh, kok bisa sih sampai begitu?"

Dan sederet tuduhan lainnya yang sebenarnya sama sekali tak kuperlukan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memberi tips agar bengkaknya cepat kempis padahal justru hal itu yang paling berguna dan orang yang mengatakannya akan kuhargai.

Seolah belum cukup dengan nyinyiran tetangga julid, yang lebih tragis, bapak mertuaku juga tidak kalah julid soal ASI.

"Kalo istrimu mau kerja lagi nanti gimana nyusuinnya?" tanya bapak mertuaku pada Mas Ganjar suatu malam. Meski itu diutarakan pelan-pelan, aku tetap mendengar.

"Ya dipompa lah, Pak. Nanti taro di kulkas susunya," jawab suamiku.

"ASI kok dipompa. Ditaro kulkas lagi. Apa nggak rusak? Apa bagus buat anakmu? Mending pake susu formula aja."

Hatiku rasanya sedih sekali. Aku ingin bisa meng-ASI-hi bayiku dengan baik tapi malah tidak didukung. Bapak mertuaku justru mendukung pemberian susu formula padahal susu formula tidak pernah disarankan diberikan pada bayi kecuali memang ada keadaan di mana si ibu tidak dapat menyusui. Aku pun sudah susah payah berusaha makan makanan yang bergizi demi bisa memberikan ASI yang melimpah untuk bayiku tapi kenapa aku merasa direndahkan?

Kakak iparku pun ikut-ikutan mendiskreditkan aku dengan berkata, "Istrimu itu, kan, badannya kecil. Kayaknya ASI yang keluar juga sedikit. Bayinya nggak berhenti nangis. Pasti itu gara-gara air susunya kurang. Nanti tambah aja pake susu formula. Kasihan bayinya."

Aku merasa sangat rendah diri saat itu. Apa benar ASI yang kuproduksi sangat sedikit sehingga bayiku menangis terus? Bukankah tafsir tangisan bayi banyak sekali karena memang itulah satu-satunya cara bayi berkomunikasi? Bagaimana bisa kakakku menafsirkan bahwa arti tangis bayiku memang karena dia kekurangan ASI? Apakah tangis bayi memang berbeda-beda tapi aku saja yang belum tahu? Dan berbagai apakah-benar-begini-begitu lainnya memenuhi kepalaku.

"Aku resign aja kalo begini, Mas." Aku berkata sambil sesenggukan. "Bapak bilang ASI nggak boleh dipompa, kan? Nanti kalau aku tetep kerja dibilang menantu nggak nurut mertua, dibilang durhaka."

"Udah, udah. Nanti aku kasih bapak pencerahan lagi. Bapak tuh cuma belum tahu, Yang, model-model begituan. Namanya juga orang kampung. Bapak mana tau sih jaman sekarang udah ada teknologi namanya pompa ASI." Mas Ganjar mengusap-usap pundakku.

"Mbak Retno juga tuh ikut-ikutan menyudutkan aku. Dia bilang ASI-ku kurang. Suruh kasih susu formula aja. Itu menyakitkan, Mas," kataku pula.

"Udah, nggak usah dipikirin. Aku dukung kamu buat menyusui kok, Yang. Aku malah nggak mau kita pake susu formula buat anak kita karena ASI yang paling penting. Iya, kan?" Mas Ganjar masih menenangkanku dengan lembut.

"Apa sesulit itu mendukung ibu yang baru melahirkan di sini?" tanyaku retoris. Mas Ganjar hanya bisa mendesah dan terus mengusap pundakku sampai derai tangisku berhenti malam itu.

***

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now