10 | Dilema

12.3K 1K 24
                                    

Jatah cutiku sebentar lagi mau habis. Aku menyesal kenapa aku mengambil cuti terlalu cepat. Saat itu aku mengambil cuti saat usia kandunganku baru menginjak 8 bulan sehingga aku harus kembali bekerja ketika bayiku baru berumur satu bulan– itu pun kalau aku memang berniat kembali bekerja karena jujur saja aku sedang dilanda dilema.

"Harusnya kamu tempo hari ambil cuti pas kamu udah sembilan bulan dong, Mir, biar nggak buru-buru masuk kerja," begitu kata Mbak Anjani, kakak keduaku, yang datang menengokku di rumah mertua bersama kedua orang tuaku setelah seminggu aku melahirkan.

Mereka sudah sempat menengokku saat aku di rumah sakit— bersama Mbak Ajeng, kakak pertamaku, dan keluarganya pula— dan berkunjung kembali seminggu kemudian karena merindukan bayiku. Oya, aku lupa mengatakan kalau aku melahirkan seorang bayi perempuan.

"Iya, Mbak. Aku jadi nyesel sekarang. Harusnya, kan,  aku punya waktu lebih lama lagi ya buat ngurus si kecil," sesalku. "Abisnya waktu itu aku udah nggak sanggup lagi wara-wiri kerja. Capek. Buat jalan-jalan di sekitaran rumah aja udah engap apalagi buat naik motor jarak jauh."

"Ya udah, terus kamu maunya gimana? Kerja lagi atau resign aja?" tanya Mbak Anjani.

Aku tak segera menjawab. Aku masih bimbang dengan keputusan apa yang harus aku ambil apalagi ditambah dengan omongan bapak mertuaku waktu itu. Aku jadi makin ragu untuk kembali bekerja.

"Suamimu ngijinin nggak kalo kamu kerja lagi?" tanya Mbak Anjani lagi saat aku malah terdiam seolah tahu aku sedang bimbang.

"Hmm, ngijinin sih—"

"Tapi?" Dia bertanya lagi.

"Kok tapi?"

"Kalo kalimat diakhiri sama partikel 'sih' biasanya ada tapinya. Kamu juga keliatan bingung gitu jadi Mbak yakin pasti ada lanjutannya," sahut Mbak Anjani dengan hipotesis ala anak bahasa— kebetulan kami sama-sama mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Inggris meski Mbak Anjani memilih pendidikan sedangkan aku memilih sastra.

"Bahasamu, Mbak, mirip mahasiswa bikin skripsi aja," ledekku yang membuat kakak yang berselisih delapan tahun dariku itu tertawa.

"Gimana tinggal sama mertua?" Mbak Anjani kini justru mengalihkan topik pembicaraan kami. Dia berbisik di kalimat terakhirnya. Dia melirik ke arah kedua orang tuaku dan kedua mertuaku yang sibuk mengobrol agak jauh dari tempat kami duduk. Sementara Mas Arfin, suaminya, memangku Kenes, anak pertama mereka, yang anteng menonton Upin Ipin lewat gawai. Mas Ganjar duduk tak jauh dari Mas Arfin untuk menemani mengobrol di teras rumah.

"Yaaa gitu." Aku memutar-mutar bola mata, berusaha menghindari topik ini karena aku masih sensitif soal mertua.

"Gitu gimana? Enak nggak?"

Aku menghela napas. "Aku sempet denger bapak mertua tanya sama Mas Ganjar kalo aku kerja lagi si kecil gimana?"

"Gimana apanya maksudnya? Mereka nggak mau bantu jagain?"

"Bukaaaann!" Aku menjawab lirih. "Mereka bingung gimana aku nyusuinnya."

"Hah?" Kakakku mengernyit heran. "Nyusuin ya tinggal mulut tempelin ke puting, kenyot, susu keluar. Beres, kan?"

"Dih, bukan gitu—" Aku memukul pelan lengan Mbak Anjani. Hal itu membuatnya tertawa tapi kemudian dia ingat untuk menutup mulutnya sebelum jadi pusat perhatian yang lain. "Bapak mikirnya tuh ASI-nya gimana gitu. Bisa nggak ngasih ASI kalo kerja."

"Lha, kan, tinggal pumping aja to?" Kakakku masih tak paham.

"Nah, iya. Pas Mas Ganjar ngasih tau kalo nanti bakalan pumping, bapak kayak nggak setuju gitu, Mbak. Katanya masa ASI dipompa trus ditaro kulkas. Apa bagus buat bayi? Apa nanti ada gizinya? Gitu-gitu lah."

Balada Ibu Rumah Tangga | TAMATWhere stories live. Discover now