5. Sebuah Sosok

58 8 1
                                    

Rendra berjalan memimpin. Melewati jalanan yang berbeda tidak seperti yang Akas lalui tadi ketika mengikuti Karin, atau lebih tepatnya mungkin hanya arwah jadi-jadian saja. Jalan itu lumayan jauh. Sepertinya Rendra sengaja memilih berjalan memutar untuk menghindari gubuk tadi.

"Kenapa lo bisa tahu kalau gue ada di gubuk itu?"

"Hah?" Rendra menoleh ke arah Akas. Namun, Akas sama sekali tak menoleh ke arah Rendra ketika ia menanyakan hal tersebut. "Oh, tadi gue abis ngubur bangkai tikus disuruh Riris."

"Hm." Akas hanya bergumam singkat untuk menanggapinya kemudian kembali diam. Sepertinya tidak perlu ada yang dicurigai kenapa Rendra bisa tahu keberadaannya, mengingat gubuk tadi sepertinya memang dekat dengan vila.

"Tolong aku."

Bisikan itu, siapa?

...

Rendra dan Akas sampai di vila melalui halaman depan. Rupanya Rendra memang mengajak Akas berjalan memutar. Mereka berdua pun segera masuk. Ada Riris yang sedang bermain ponsel di ruang tengah. Riris pun segera menyahut ketika melihat kedatangan mereka berdua.

"Lama amat sih buang bangkainya."

"Iya. Soalnya dapat bangkai baru, nih," jawab Rendra sambil melirik ke arah Akas. Sedangkan Akas tidak terlalu menggubrisnya.

"Haha. Temen sendiri gitu masa dibilang bangkai."

"Lo mau tahu nggak gue nemuin dia dimana?"

"Emang dimana?" Riris mengangkat wajahnya menanggapi Rendra.

"Di...," Rendra sengaja menggantung ucapannya agar membuat Riris semakin penasaran.

"Di mana?"

"Di...."

"Ehm." Akas berdehem pelan sehingga menghentikan pembicaraan mereka berdua.

"Udah, ah. Gue mau makan. Gara-gara lo nih gue jadi telat makan," ucap Rendra kemudian, mengalihkan pembicaraan.

Riris mengangguk paham. Bagaimanapun memang salahnya karena menyuruh Rendra membuang bangkai tikus sehingga membuat lelaki itu menjadi telat makan. Tapi, tetap saja bukan salah Riris jika Rendra bisa pergi selama itu. "Sarapan lo di dapur tuh, lagi diangetin sama Karin. Kalian kelamaan baliknya, jadi makanannya udah keburu dingin."

"Oke." Rendra segera melesat ke dapur. Ia sudah tidak bisa menahan rasa laparnya lagi. Sementara Akas memutar bola matanya jengah. Mendengar nama Karin membuat nafsu makannya seketika hilang. Kemudian ia langsung melenggang pergi menuju kamarnya.

"Lo nggak ikut makan, Kas?"

"Nggak." Akas menjawab dengan singkat pertanyaan Riris. Setelahnya ia langsung menutup pintu kamar.

...

Gadis itu aneh. Ya, siapa lagi kalau bukan Karin. Bagaimana mungkin tadi itu hanya halusinasi. Padahal jelas terlihat sangat nyata. Lagipula tempat apa itu tadi? Apa semacam gubuk peminta tumbal sehingga Rendra melarang Akas pergi ke sana lagi? Haha, lelucon macam apa itu. Bagaimana mungkin sebuah bangunan yang diam dapat membuat orang terbunuh hanya dengan memasukinya? Benar-benar tempat yang aneh. Penuh mitos yang tidak masuk akal.

Akas membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu memejamkan matanya yang lelah. Ia mencoba tidak memikirkan apapun. Tapi, nyatanya pikirannya terus saja jatuh pada keanehan yang terus terjadi pada dirinya.

"Ia mati. Tidak hidup."

Bisikan itu terdengar lagi dan seketika langsung memaksa Akas untuk membuka matanya. Siapa yang berbicara? Akas melihat ke kiri kanannya, masih dalam posisi berbaring. Apa benar dirinya hanya terlalu capek seperti kata Rendra makanya ia jadi berhalusinasi? Akas mengabaikan suara itu. Ia kembali memejamkan mata.

"Ia iblis. Ia ingin membunuh kalian semua."

Akas membuka mata lagi. Bingung, entah apa maksudnya, dan entah siapa yang membual. Aneh. Akas pun kembali memejamkan matanya.

"Ia memiliki permata hijau. Ia mengutukku."

Bisikan itu terus terngiang. Tidak! Akas tidak mendengarnya. Ia tidak ingin membuka matanya lagi. Ini hanya halusinasi. Abaikan saja.

"Ia akan menyingkirkanmu. Ia akan membunuhmu. Kamu selanjutnya!"

"Nggak!" Akas membuka matanya. Berteriak lalu bangkit dari tidurnya. Kemudian matanya menangkap sebuah sosok yang rupanya sudah sedari tadi berdiri di bawah kakinya.

"Hai, namaku Dayu."

...

Riris tampak mondar-mandir di ruang tengah. Wajahnya terlihat begitu kecut. Ia terus menggerutu sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hanya demi mencari sinyal yang sulit sekali untuk didapatkannya.

"Ini sinyal pada kemana sih kok ngilang gini?" umpat Riris yang sudah amat kesal.

Rendra yang baru selesai sarapan itu menaikkan sebelah alisnya bingung ketika mendapati Riris yang sedang menggerutu di ruang tengah. Dilihatnya teman gadisnya itu yang tengah mondar-mandir kesana kemari tak tentu arah.

Rendra menyilangkan tangannya di depan dada sambil menyandarkan tubuhnya di ambang pintu. Ia mengamati Riris untuk beberapa saat lamanya sampai ia mengetahui jika Riris sedang kesal karena ponselnya tidak mendapatkan sinyal. Rendra tertawa sekilas, kemudian berjalan mendekat ke arah Riris. Ia pun iseng mengambil ponsel milik gadis itu.

"Ihh, Rendra, balikin," rengek Riris ketika ponsel miliknya itu diambil tanpa izin.

Bukannya mengembalikan, Rendra malah mengangkat ponsel Riris semakin tinggi.

"Harusnya lebih tinggi kayak gini nih baru lo dapat sinyal."

"Mana? Mana? Beneran ada?"

"Ada...,"

"Tapi, bohong! Hahaha," lanjut Rendra sambil tertawa dan berlari menjauh dari Riris. Sudah dapat ditebak, gadis itu pasti akan mengamuk.

"Ihh, Rendraaa!!!" Riris langsung berlari mengejar Rendra yang masih membawa lari ponsel miliknya itu. Namun, Rendra tak kunjung mengembalikannya juga. Ia malah semakin asyik mempermainkan Riris.

"Rendraaa!!!"

"Wlee ... tangkap gue sini kalau bisa."

"Awas ya lo."

Riris berlari semakin cepat mengejar Rendra dan alhasil ia berhasil menangkapnya. Tanpa ampun, Riris memukuli Rendra hingga membuat Rendra meringis kesakitan.

"Aduh, Ris. Ampun, sakit tahu."

"Rasain, nih, nih." Bukannya berhenti begitu mendengar rengekan Rendra, Riris malah memberikan pukulan yang semakin kencang.

"Sorry deh, Ris. Janji abis ini nggak akan usil lagi." Rendra mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membuat simbol peace.

"Belum gue maafin."

"Kalau gitu gue anterin lo ke lapangan, deh," kata Rendra kemudian, sambil mengembalikan ponsel milik Riris.

"Ngapain ke sana?"

"Jadi kebo!!!"

"Rendra!!!" Belum sempat pukulannya mengenai Rendra lagi, Rendra sudah duluan kabur ke luar.

"Gue serius, Ris. Maksud gue kita nyari sinyal di sana."

"Emang ada?"

"Ada. Yuk, coba aja. Nggak jauh kok dari sini"

"Oke, deh."

Riris pun mengiyakan ajakan Rendra untuk pergi ke lapangan. Mereka berdua pun keluar dari vila itu dan meninggalkan Akas yang sendirian di kamarnya. Tunggu sebentar, apakah Akas benar-benar sendirian?

KELANAWhere stories live. Discover now