21. Pertanda

32 7 0
                                    

Kamis, 2018.

Rumput ilalang yang tumbuh menghijau menyentuh lembut sneaker putih tulang milik Dayu. Matahari belum terlalu menjulang tinggi di atas kepala. Tapi, panasnya lumayan menyakiti mata hijau miliknya. Dayu menyisir rapi rambut hitamnya yang sedikit bergelombang menggunakan sela-sela jarinya. Aroma parfum yang maskulin menguar lembut dari kaos biru muda lengan pendek yang melekat di tubuhnya. Celana hitam selututnya ia biarkan saja menduduki rumput ilalang yang sedikit basah akibat tergerus air hujan semalam.

Bibir kemerahannya samar-samar menyenandungkan lagu When You Love Someone - Bryan Adams. Tangannya pun dengan iseng mencabuti rumput di kiri kanannya kemudian memain-mainkannya sambil menunggu gadis pujaannya itu datang.

Suara air dari sungai yang ada di bawah pematang rumput terdengar bergemericik. Air sungai itu sungguh jernih, mengalir dari salah satu sumber mata air dari sebuah gunung. Di sana ikan-ikan terlihat jelas tengah berenang-renang ke sana kemari. Sisiknya yang berwarna emas tampak berkilauan.

Dari kejauhan, gemerisik suara langkah kaki yang terdengar mengulas senyum Dayu lebar.Wajahnya berubah memerah, jantungnya berdegup kuat, Putri Salju-nya sudah datang. Dayu pun segera berdiri.

"Maaf. Kamu nunggu lama, ya?" Karin meremas dress selutut berwarna biru langit miliknya. Warnanya tak jauh beda dengan kaos yang dikenakan Dayu. Dayu lalu menjawabnya dengan gelengan. Dirinya terus tersenyum. Meskipun sebenarnya sudah sekitar 10 menit Dayu menunggu Karin, tapi tidak masalah. Ia tidak ingin membuat Putri Salju-nya merasa tak enak hati karena ditunggu terlalu lama.

"Tenang aja. Aku baru nunggu sebentar kok."

"Sekali lagi maaf, ya."

"Nggak masalah."

Karin mulai melengkungkan senyumnya. Namun, wajahnya masih sedikit menunduk. Kemudian ia berjalan mengikuti Dayu yang menuntunnya menuruni pematang rumput menuju tepi sungai. Mereka hendak menangkap ikan.

Kerikil dan pasir yang ada di tepi sungai tempat mereka berada tampak berkilauan terpapar teriknya matahari. Bayang-bayang mereka berdua pun mulai sejajar dengan tubuh mereka. Namun, mereka berdua masih menghabiskan waktu siang itu dengan menangkap ikan di sungai.

Pakaian Dayu basah kuyup, sementara pakaian Karin tidak terlalu basah walaupun tadi sempat terkena cipratan air yang Dayu tujukan kepadanya. Mereka mendapat lima ekor ikan nila yang kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ember besar berisi air. Karin mengulurkan tangannya, lalu menarik Dayu yang seperempat badannya terendam air sungai. Sebelah tangan Dayu memegang tanggok. Dengan bersusah payah, ia naik ke atas tepian dibantu Karin.

Kini, mereka berdua tengah duduk di bawah kumpulan pohon bambu. Rimbunnya daun bambu menangkis panas matahari yang ada. Ikan-ikan tampak berkecipak di dalam ember, menyiprat-nyipratkan airnya keluar. Lima ikan nila berwarna emas itu berdesak-desakan ingin dikeluarkan. Tapi, rintih permintaan itu sama sekali tidak diindahkan.

"Lucu ya, baju kita warnanya bisa samaan." Dayu terkekeh sambil melirik Karin yang wajahnya merah padam.

"Aku juga nggak tahu. Nggak sengaja aja bisa samaan."

"Mungkin pertanda."

"Pertanda apa?"

"Ah, nggak apa-apa. Hehe." Dayu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Coba kamu lihat ini." Dayu menunjukkan dua buah batu berukuran sedang di telapak tangannya. Batu sungai yang mulus. Ia mengambilnya dari samping tempatnya duduk.

"Batu?"

"Iya." Dayu mengangguk. "Sekarang ikut aku." Dayu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan ke arah tepian sungai. Karin pun segera mengikutinya lalu menyamakan langkahnya di sebelah Dayu. Setelah itu Dayu memberikan salah satu batu itu kepada Karin dan kembali menatap sungai.

KELANAWhere stories live. Discover now