37. Kematian Putri Salju

14 3 0
                                    

Suasana meja makan tampak riuh oleh bunyi piring dan sendok yang berdenting. Saling beradu satu sama lain hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring terdengar di telinga. Mereka duduk melingkar, diantara meja panjang yang terbuat dari marmer.

Tangan Bu Saras dengan cekatan mengupas apel demi apel lalu diberikan kepada anak-anak asuhnya. Ia tersenyum gembira memandang satu persatu wajah-wajah lugu dari mereka. Apel terakhir yang selesai dikupasnya kemudian diberikan kepada Clara. Clara pun menerimanya dengan tersenyum senang. Gadis itu begitu menyukai apel.

"Akas juga mau apel? Saya bisa mengupaskannya untukmu."

Akas menggeleng. Sebenarnya sudah sedari tadi Akas memperhatikan Clara memakan apel yang dikupaskan oleh Bu Saras, bukan karena kepingin, melainkan Akas merasakan suasana yang berbeda pagi ini. Tidak biasanya Bu Saras mau menemani anak-anak sarapan. Biasanya di waktu sepagi ini Bu Saras masih mendekam di ruangan pribadinya dan baru keluar pada siang harinya untuk menemani anak-anak makan siang.

"Di mana Gerri?" Pertanyaan Akas membuat suasana ruang makan seketika menjadi hening. Semua orang menghentikan acara mengunyah apelnya kemudian saling melempar pandang ke arah Bu Saras. Mereka menanti jawaban wanita itu.

"Ehm ..., Gerri .... Saya sudah mencarinya kemanapun. Kenapa ia tidak ada, ya?"

"Benarkah itu, Bu Saras?" Nada sedih terdengar dari suara Clara, walaupun kemarin Clara sudah mengetahui bahwa Gerri akan diadopsi, tetap saja sekarang ia merasa begitu sedih. Tidak ada ucapan selamat tinggal dari Gerri kepadanya dan Gerri seakan menghilang begitu saja. Bu Saras juga tidak menjelaskan kemana perginya Gerri yang sebenarnya.

"Ya. Ia menghilang begitu saja. Saya berniat menelpon polisi setelah ini."

"Bukannya dia diadopsi?"

Bu Saras terkejut bukan main mendapati Clara tahu tentang kebohongannya, segera ia menyangkal.

"M-mana mungkin ada yang mau mengadopsi Gerri. Kamu tahu sendiri kan latar belakangnya?"

"Benar, Clara. Nggak ada yang mau mengadopsi orang jahat," sahut salah satu di antara anak panti, seorang anak laki-laki berumur sekitar 5 tahun yang duduknya lumayan dekat dengan Clara.

"Lalu b―" Akas menyenggol lengan Clara, membuat Clara menghentikan ucapannya. Akas tidak ingin Clara berbicara lebih jauh lagi dan membeberkan apa yang Gerri ceritakan kemarin tentang rahasia Bu Saras. Akas tidak ingin membuat Bu Saras curiga.

"Clara, sepertinya aku meninggalkan barangku di kamarmu. Bisakah kamu menemaniku untuk mengambilnya?"

Permintaan Akas ditanggapi anggukan oleh Clara. Segera kedua anak itu pergi meninggalkan ruang makan, diikuti oleh anak-anak lain yang sudah selesai dengan kegiatan sarapannya. Bu Saras tersenyum kecut seorang diri, merasa Clara mengetahui sesuatu yang bisa membahayakannya. Bu Saras pun beranjak dari ruang makan, kemudian membuntuti kemana Clara dan Akas pergi.

"Clara, kamu jangan mengatakan apapun kepada Bu Saras," titah Akas. Ia sengaja mengajak Clara berbicara di taman panti karena tempat itu sepi oleh orang di pagi hari.

"Aku hanya penasaran kemana perginya Gerri. Aku nggak pernah melihatnya lagi semenjak sore kemarin."

"Gerri sudah bilang kepada kita, dia pergi bersama kedua orang asing itu. Jangan hiraukan ucapan Bu Saras yang mengatakan kalau Gerri kabur. Gerri sama sekali nggak akan melakukan hal seperti itu."

"Bu Saras nggak mungkin bohong. Gerri yang jahat, dia pergi begitu saja tanpa pamit ke teman-teman yang lain."

"Sebenarnya kamu lebih percaya siapa? Gerri atau Bu Saras?"

"Seperti anak panti yang lain, aku lebih percaya Bu Saras karena dia baik."

"Kami sudah memperingatimu untuk nggak terlalu percaya sama Bu Saras. Kurang apa lagi? Apa yang perlu aku lakukan supaya kamu bisa percaya?"

"Bu Saras nggak pernah berbuat jahat. Nggak ada alasan yang bisa menyangkalnya."

"Kamu bisa bilang begitu karena kamu nggak melihat apa yang dia lakukan."

"Aku memang nggak bisa melihat, Akas. Apa kamu lupa kalau aku buta?"

"Maksudku bukan begitu. Aku pernah melihat Bu Saras meracuni Buana, kemudian setelah Buana meninggal, ia memasukkan mayat Buana ke dalam kardus dan menjualnya kepada kedua orang asing itu."

"Jangan asal bicara, Akas. Setelah Buana meninggal, kita menghadiri acara pemakamannya. Tidak mungkin Bu Saras menjual mayat Buana. Waktu itu kamu pasti salah lihat."

"Nggak mungkin, bahkan mereka juga menandatangani sebuah berkas."

"Berkas seperti apa? Apa kamu akan menjadikan berkas itu sebagai bukti untuk menuduh kalau Bu Saras adalah orang jahat?"

"Aku nggak tahu. Aku juga nggak menuduh dia jahat. Kenyataannya Bu Saras memang benar-benar jahat."

"Sudahlah, Akas. Kamu boleh nggak suka sama Bu Saras, tapi jangan membuatku nggak suka padanya juga."

"Lalu kamu akan menganggap bahwa hilangnya Gerri benar-benar murni kabur tanpa adanya campur tangan Bu Saras?"

"Tentu saja."

"Ayolah, Clara. Gerri juga sudah mengatakan semuanya kemarin, bagaimana mungkin kamu nggak mempercayainya?"

"Aku lebih percaya dengan Bu Saras yang sudah sedari kecil merawatku. Gerri pasti benar-benar kabur karena keinginannya sendiri."

"Aku akan mencari berkas yang Gerri sembunyikan itu. Aku akan mengungkap kejahatan Bu Saras."

Akas menyerah, tidak mudah baginya untuk membuat gadis seperti Clara percaya pada ucapannya. Terlebih Clara sudah terlalu percaya dengan kebaikan Bu Saras yang sebenarnya hanyalah tameng. Akas memilih menghentikan percakapan itu. Sudah cukup baginya untuk berdebat dengan Clara. Akas tidak ingin karena terlalu lama berdebat akhirnya mereka bertengkar. Akas belum siap untuk berpisah dengan Clara.

Bu Saras menyunggingkan senyum wajah keduanya. Dari tadi ia bersembunyi di balik salah satu pilar. Ia menyimak pembicaraan Clara dan Akas sejak awal. Bu Saras merasa ia harus segera bertindak. Ia tidak akan aman lagi kalau salah satu dari kedua bocah itu angkat bicara soal kebusukannya selama ini.

"Aku harus mencari berkas yang Akas maksud." Kemudian Bu Saras pergi meninggalkan mereka berdua.

Perbincangan Clara dan Akas menjadi kacau. Keadaan Clara terlihat memburuk, terutama setelah ia tiba-tiba mimisan. Akas merasa sangat khawatir. Segera ia menggendong Clara masuk ke dalam untuk mencari bantuan dari seseorang.

Darah dari hidung Clara membanjiri bahu Akas. Tak segan-segan darah itu juga menetes ke lantai. Wajah Clara semakin pucat. Darah mimisannya tak kunjung berhenti keluar. Apalagi penyakit hemofilia makin memperburuk keadaannya. Apel tadi telah meracuninya, apel dari sang penyihir.

KELANAWhere stories live. Discover now