8. Mbah We

44 6 4
                                    

Malam berikutnya. Pukul 20.00.

Akas keluar dari vila Rendra. Sudah dipastikan bahwa ia akan ke rumah Pak Kades untuk meminta bantuan agar dicarikan mobil sewaan untuk mengantarkannya pulang ke Jakarta.

Dengan berbekal jaket guna menghalau dinginnya malam dan juga sebuah senter untuk menerangi langkahnya, Akas sudah berdiri di teras vila dan hendak melangkah menuju rumah Pak Kades. Namun, sebuah tangan tiba-tiba menariknya ke belakang dan menghentikan langkahnya.

"Lo mau kemana malam-malam gini?"

"Riris?" Akas tampak mengelus dada mengetahui ternyata Riris yang menarik tangannya tersebut. "Ke rumah Pak Kades," jawabnya kemudian.

"Ngapain?"

"Secepatnya kita akan balik ke Jakarta."

"Apa? Kita baru tiga hari di sini. Lo gila ya mau cepat-cepat balik."

"Justru kita bakal makin gila kalau masih di sini."

"Gue nggak setuju. Pokoknya gue nggak mau kalau kita balik."

"Lo sadar nggak, sih? Nyawa kita dalam bahaya. Kita harus segera balik."

"Maksud lo apaan? Kita baik-baik aja kok."

"Sekarang kita emang masih baik. Tapi, nggak ada jaminan kalau besok kita masih akan baik-baik aja."

"Bicara lo ngawur tahu nggak, Kas. Sebenernya apa yang lagi lo pikirin?"

"Lo nggak perlu tahu apa-apa, Ris. Gue cuma kepikiran kalau ada yang nggak beres sama vila ini, dan itu bisa membahayakan kita."

"Apaan, sih. Lo tuh nggak menghargai Rendra banget. Dia udah baik-baik ngajak kita berkunjung ke vila-nya, tapi lo malah mikir yang nggak-nggak."

"Rendra cuma membuat kita dalam bahaya. Lo nggak tahu apa-apa tentang dia, Ris."

"Gue lebih tahu tentang Rendra daripada lo. Gue udah kenal Rendra sejak kecil. Justru lo yang nggak tahu apa-apa tentang Rendra."

"Rendra yang sekarang nggak seperti Rendra yang dulu lo pikirin. Dia menutupi sesuatu dari kita."

"Kenapa sih lo jelek-jelekin Rendra mulu. Inget, dia sahabat lo."

"Ya, gue tahu. Tapi, baru kali ini gue meragukan dia."

"Lo meragukan Rendra karena lo berprasangka buruk sama dia, Kas. Gue yakin niat Rendra baik dan sama sekali nggak ingin membuat kita celaka."

Riris berlalu masuk begitu mengucapkan kalimat barusan. Akas berdecak kesal. Sekarang tidak ada yang mempercayainya, begitupun dengan Riris. Kini kedua temannya itu menganggap Akas tidak waras.

Akas menoleh ke halaman vila. Di sana sudah ada Karin yang berdiri tak jauh dari pintu gerbang. Sudah dipastikan bahwa gadis itu pasti mendengar percakapan antara Akas dan Riris.

Dengan cepat, Akas segera menghampiri Karin. Sesampainya di depan gadis itu, Akas langsung mengapit kedua pipi Karin dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya. Lalu menekannya kuat dan memaksa Karin untuk melihat ke arahnya.

"Kenapa kemarin lo kabur? Kalau lo berani, bunuh gue sekarang juga!" ucap Akas dengan lantang kepada Karin. Sementara Karin hanya diam saja. Ia berusaha melepaskan tangan Akas yang mengapit wajahnya.

"Buka mulut lo. Pasti lo kerasukan, kan? Buka sekarang!" titah Akas. Namun, Karin menggeleng kuat, menyangkal ucapan Akas. Walaupun begitu, Akas tetap bersikeras ingin mengecek gumpalan rambut yang dilihatnya itu memang ada di dalam mulut Karin atau tidak.

"Cepat buka! Kemarin lo kerasukan dan mau bunuh gue, kan?!" lanjut Akas lalu mengapit kedua pipi Karin lebih kuat lagi. Namun, Karin terus menggeleng.

"Buka nggak?" paksa Akas terus menerus. Namun, Karin tetap menggeleng dan menutup rapat-rapat mulutnya. Akas pun menjadi putus asa karenanya.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang