33. Yang Hilang Akan Kembali

18 3 0
                                    

Karin berjalan pelan menuju rumahnya. Meskipun pelan, langkahnya tetap memperdengarkan suara tapak kakinya yang beralaskan sepatu slip warna putih andalannya. Pepohonan pinus menjauhkan rumahnya dari tengah desa, memberi batasan sendiri untuk sebuah 'privasi'. Sebenarnya ia agak takut dengan rumahnya yang jauh dari pemukiman warga, tapi juga ada keuntungan tersendiri oleh karenanya.

Karin mendengar suara langkah kaki lain yang mulai mendekatinya dari belakang. Suaranya cepat seperti tengah berlari. Baru saja Karin ingin berbalik badan, orang yang menghampirinya sudah berdiri di depannya.

"Karin." Akas memanggil Karin dengan nafasnya yang terengah-engah, takut gadis itu pergi lagi kalau tidak cepat-cepat ditemui.

"Sudah selesai dengan urusan kamu?"

Akas mengangguk.

"Bagaimana tadi soal mawarnya? Apa ada sesuatu?" tanya Akas mengalihkan pembicaraan.

Karin menggeleng. Tidak ada hal yang menarik dari darah di mawar itu. Mungkin memang benar, Karin harus mengambil kesimpulan kalau itu hanyalah perbuatan orang iseng. "Hanya darah tikus. Cukup sia-sia aku memilih untuk menunggu hasilnya keluar. Aku pikir jika itu darah manusia maka―"

"Lalu, bagaimana dengan sidik jarinya?"

"Nggak ada sama sekali."

"Oh, gitu, ya. Ya udah, masalah mawar itu kita kesampingkan dulu. Ada hal lain yang lebih penting. Gue ada informasi."

"Ya, aku juga. Setidaknya aku juga punya beberapa informasi. Kita bisa saling bertukar. Kita bicarakan ini di rumahku."

Kemudian mereka berdua bergegas menuju rumah Karin. Tidak butuh waktu lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. Kali ini mereka lebih memilih membicarakan masalah itu di dalam rumah, khawatir kalau-kalau ada yang akan mengupingnya, namun pintu depan tetap dibiarkannya terbuka. Karin menyediakan seteko air putih, jaga-jaga kalau di tengah perbincangan mereka kehausan. Kemudian Akas mulai mengawali pembicaraan.

"Sebelum itu, gue mau lihat surat adopsi lo dulu."

"Memangnya itu penting, ya?"

"Cuma mau memastikan. Gue ingin tahu itu asli atau nggak."

"Sebentar." Karin masuk ke dalam kamarnya, mencari lembaran surat adopsi yang diminta Akas. Setelah menemukannya, kemudian ia membawa map berwarna biru langit itu keluar kamar. "Aku nggak bodoh kali, aku juga tahu ini asli."

"Biar gue lihat dulu." Akas mengecek berkas itu satu persatu, menelitinya untuk membuktikan keasliannya. Sementara Karin duduk diam memperhatikan, menunggu ucapan lelaki itu kemudian.

"Ada tanda tangan orangtua Rendra dan Pak Kades sebagai saksi. Jadi, mereka semua setuju?"

"Begitulah."

"Ya, gue nggak bisa menyangkal. Ini benar-benar asli. Nggak bisa dipungkiri, orangtua Rendra mengadopsi lo memang secara hukum." Akas meletakkan map tersebut di meja. Kali ini perhatiannya teralih ke selembar kertas yang ada tepat di depan Karin, surat hasil tes dari laboratorium puskesmas.

"Jadi, ini hasil tes darahnya?"

Karin mengangguk menanggapi.

Akas membaca tulisan yang ada di kertas itu dengan teliti. Normal-normal saja batinnya. Sampai akhirnya ia membaca tulisan di bagian ujung bawah kertas barulah ia merasa terkejut. Yang meneliti sampelnya adalah Dokter Saras, bundanya dulu di panti!

"Ini Bu Saras?" tanya Akas dengan nada suara tinggi, membuat Karin sedikit terkejut.

"Iya, Dokter Saras, Saras Anggrawati. Dia yang menelitikan sampel darah itu untukku. Dia juga sempat bercerita beberapa hal padaku."

KELANAWhere stories live. Discover now