7. Rumor

45 8 1
                                    

Akas mencari Riris kemanapun. Ke sekeliling vila sambil bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya. Namun, nihil. Kata mereka, mereka tidak pernah melihat kalau ada pendatang baru di desa tersebut. Bahkan mereka juga mengatakan baru pertama kali melihat Akas.

Akas pun pergi mencari Riris ke tempat lain. Ia harus menemukan Riris secepat mungkin. Mereka harus pulang ke Jakarta hari ini juga. Persetan dengan Rendra. Laki-laki itu hanya akan membahayakan nyawa mereka.

Akas menengak-nengok ke segala arah. Kemudian ia menilik ke tempatnya tadi bertemu dengan kakek tua yang sedang meng-arit rumput. Ia yakin satu-satunya orang yang dapat membantunya adalah kakek itu. Namun, Akas tidak juga menemukannya. Apakah kakek itu sudah pulang ke rumah? Sial. Akas tidak sempat menanyakan dimana rumah kakek itu tadi.

Akas mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak bisa membiarkan Riris hilang di desa seperti ini. Salahnya karena Akas tidak bisa mengejar dan menemukan Riris lebih cepat. Akas tentu tidak bisa pulang ke Jakarta sendirian dan meninggalkan Riris. Ia harus menemukan Riris, dimanapun. Kalau perlu ia harus lapor Pak Kades.

"Kowe kenapa, Le?" Seorang ibu-ibu lewat tepat di samping Akas. Di sampingnya juga ada suami ibu itu yang sedang menyunggi dami atau ijuk padi di kepalanya. Sepertinya kedua pasangan itu baru saja pulang dari sawah.

"Tiyang anyar, ya? Arep nggoleki sapa?" tanya bapak itu kemudian, karena Akas tak kunjung menjawab pertanyaan dari istrinya.

"Eh itu, saya nyari kakek tua yang punya sawah ini," jawab Akas sambil menunjuk sawah tempat kakek yang ditemuinya tadi merumput.

"Oh, sawah iki ora disade. Kowe iki juragan tanah sing arep numbas lemah, pa?"

"Nggak, Pak. Kebetulan saya sedang diajak berkunjung ke sini sama teman saya. Tadi pas saya lewat sini saya ketemu kakek-kakek yang sedang merumput. Kami sempat berbincang sebentar. Sekarang saya cari kakek itu kok udah nggak ada."

"Maksud kowe Mbah We?"

"Stt, Mas. Mbah kuwi kan wis nono." Ibu itu tampak menyenggol lengan suaminya.

"Gimana, Bu?" tanya Akas mendapati reaksi dari bapak dan ibu itu yang terbilang aneh.

"Ngene, Le. Sawah iku kala mbiyen pancen kagungane Mbah We. Ananging telung taun kapungkur Mbah We sedo. Mula, saiki sawah iku diwenehake putune," jelas ibu itu.

"Dadi sing koktemoni mau bisa dadi arwahe Mbah We," lanjut suaminya.

Arwah. Akas merinding sendiri mendengar kalimat itu. Ia tidak menyangka bahwa sosok yang ditemuinya tadi adalah arwah bukannya manusia sungguhan.

"Mbah We ngendhika apa mau karo kowe?" tanya bapak itu dengan raut wajah penasaran.

"Seseorang yang hilang di vila Rendra."

"Owalah, perkara iku, to."

"Memangnya ada apa dengan kejadian itu?"

"Luwih apik kowe ngati-ati. Nek perlu mending pados penginapan liyo tinimbang nginep ning kono," kata sang ibu sambil menelan ludah.

"Apa Ibu bisa menceritakan ada apa dengan vila itu?"

"Ora bisa, cah. Iku crita kutukan. Pendatang kaya kowe luwih apik ora ngerti."

Ibu itu menolak menceritakan hal tersebut kepada Akas. Ia terlihat menutup-nutupinya. Begitupun dengan suami dari ibu itu yang juga tampak enggan mengatakan hal yang menyangkut tentang vila Rendra.

"Lalu soal meninggalnya Mbah We, kenapa bisa bertepatan dengan hilangnya pendatang itu?"

"Ora ana sing ngerti kanthi jelas alasane. Jisime Mbah We ditemokake cepak karo gubuk tua ing alas pinus, ananging mung keri balung lan sirahe tok. Kayane Mbah We dipangan kewan alas."

KELANADove le storie prendono vita. Scoprilo ora