49. Rumah Bu Saras

16 3 0
                                    

Akas mengerjapkan matanya perlahan. Ia sudah lebih dulu siuman. Namun, kepalanya masih terasa begitu berat dan pandangannya juga masih kabur untuk dibuat melihat. Dengan susah payah ia mulai memungut kesadarannya. Akas mencoba menyentuh belakang kepalanya, sayang kaki dan tangannya terikat di belakang tubuhnya oleh sebuah tali tambang. Ia pun hanya bisa merintih merasakan sakit kepala yang luar biasa.

"Karin ... Karin...."

Samar-samar Akas bisa melihat Karin yang terkulai di sebelahnya. Gadis itu belum siuman dan keadaannya juga tak jauh beda dibanding Akas, kaki dan tangannya sama-sama terikat. Akas menyeret pantatnya secara paksa mendekati Karin, lalu bahu kirinya menyenggol-nyenggol lengan kanan Karin berusaha untuk membangunkannya.

Tidak butuh waktu lama, Karin terbangun karena hal itu. Karin sempat merintih sakit begitu ia membuka matanya. Sepertinya Karin juga merasakan hal yang sama yaitu sakit di bagian belakang kepala karena pukulan Dokter Surya dan Pak Sapto tadi.

"Akas, kepala kamu berdarah!" Tidak peduli dengan kaki dan tangannya yang terikat, Karin malah lebih terkejut dengan kepala belakang Akas yang tampak mengeluarkan darah tersebut. Akas segera menoleh ke bahunya, ada bekas darah yang sudah mengering di sana.

"Gue baik-baik aja," ucap Akas singkat. "Gimana kepala lo? Orang berengsek tadi juga mukul kepala lo, kan?"

Karin mengangguk. "Ini nggak seberapa, justru luka di kepala kamu yang perlu dikhawatirkan."

"Ya. Tapi, pertama-tama kita harus melepaskan diri dari sini. Gue khawatir kalau Bu Saras akan kabur. Kita nggak boleh kehilangan dia."

Akas memunggungi Karin, kemudian ia menyuruh Karin untuk memunggunginya pula. "Balik badan lo, biar gue yang buka ikatan lo lebih dulu baru lo bukain ikatan di tangan gue."

Karin menuruti perintah Akas, segera ia membalik badannya dan memunggungi Akas sehingga Akas bisa membuka ikatan tanganmya. Setelah ikatan di tangan Karin terlepas, Karin pun melepaskan ikatan di kakinya lebih dulu baru ia cepat-cepat melepaskan ikatan tangan Akas.

Sekarang ikatan di kaki dan tangan mereka berdua sudah terlepas. Karin lalu membantu Akas berdiri yang semula masih kesusahan menyeimbangkan tubuhnya tersebut. Akas sempat terhuyung, namun Karin segera memegangi lengan Akas agar kembali seimbang. Sayangnya, Akas malah menepis tangan Karin pelan agar gadis itu tidak terus memeganginya. Sejujurnya Akas masih agak trauma dengan perempuan karena perilaku ibunya dulu.

Akas kembali merasakan sakit pada kepala belakangnya. Kemudian ia pun menyentuhnya dengan tangan kirinya. Dapat Akas rasakan darah kering menggumpal di rambutnya, benda cair itu menodai telapak tangannya yang barusan menyentuhnya. Akas kembali meringis.

"Kamu nggak apa-apa?"

Akas hanya mengangguk menanggapi Karin.

"Dokter Saras menyekap kita di mana?"

Karin melihat ke sekeliling. Hanya ada tumpukan barang tak terpakai di sana dengan lampu berdaya 5 watt menggantung di plafon. Lantai yang mereka pijak penuh debu sementara di sudut langit-langit digunakan sebagai sarang laba-laba.

"Mungkin gudang," tebak Akas. Setelah itu ia menatap sendu Karin yang berdiri di sebelahnya. "Maaf karena telah membawa lo masuk ke dalam masalah ini. Seharusnya Bu Saras jadi urusan gue dan lo nggak perlu terlibat."

"Setidaknya kita masih baik-baik aja."

"Boleh gue nanya satu hal sama lo?"

Karin mengangguk, mengiyakan.

"Lo indigo? Apa lo bisa melihat masa depan atau apapun itu?"

"Nggak mungkin." Karin  menyangkalnya. "Itu benar-benar mustahil buatku."

"Tapi, gue rasa lo punya kemampuan istimewa itu. Dan hantu tadi, apa lo tahu siapa dia?"

"Aku nggak tahu. Hantu itu aku rasa adalah korban Dokter Saras sebelumnya. Dia juga membisiki kamu saat berbicara kepada Dokter Saras."

"Benarkah? Gue nggak menyadari itu." Akas menanggapinya dengan tertawa kaku.

"Setelah kita keluar dari sini, gue pikir kita harus ke panti asuhan itu," lanjut Akas.

"Untuk apa?"

"Masalah Bu Saras ini harus cepat selesai."

Karin memilih menyetujuinya saja.

"Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya mengeluarkan diri dari sini," lanjut Akas lagi.

Mereka berdua mengedarkan pandang ke sekeliling. Namun, hanya mendapati dinding berdebu yang tampak mengepung tanpa celah.

"Nggak ada pintu," ucap Akas lalu mendongakkan kepalanya, "Mungkin ada celah masuk dari atas."

"Atau mungkin celah masuknya ada di bawah?"

Akas menoleh ke arah Karin dengan perasaan bingung. "Maksud lo?"

Tok. Tok. Karin menginjak lantai cukup kuat hingga menghasilkan bunyi yang cukup nyaring. Pertanda kalau di bawah mereka ada ruangan.

"Aku rasa ruangan ini nggak di bawah tanah, melainkan di atap."

"Kalau begitu jalan keluarnya pasti ada di salah satu sisi lantai yang kita pijak."

Akas dan Karin lalu berjalan mondar-mandir mencari jalan keluar yang dimaksud. Hal tersebut tidak memakan waktu lama karena Karin sudah lebih dulu menemukan jalan keluarnya.

"Ketemu!"

KELANAWhere stories live. Discover now