47. Karin

18 3 0
                                    

Karin. Untuk anak kecil seusianya, yakni 11 tahun, ia terlihat begitu menggemaskan dengan gaun polkadot berwarna merah muda. Ia baru selesai mandi. Rambutnya rapi dikuncir dua. Ia tampak berlari ke arah orangtuanya yang sudah menantinya di ambang gerbang vila.

Karin memeluk keduanya erat-erat seakan ingin mencegah kedua orangtuanya itu agar tidak pergi meninggalkannya. Tapi, bagaimanapun juga kedua orangtua Karin harus pergi karena alasan tugas yang diembannya.

"Ayah dan Ibu tidak pergi lama, paling tidak hanya satu minggu. Karin tinggal sama Mbah We dulu, ya."

"Tapi, Karin ingin ikut," rengek Karin kepada ibunya.

"Tidak boleh, Nak. Kasihan Mbah We tidak ada yang menemani." Kali ini ayah Karin yang berbicara.

"Benar. Kamu di rumah saja. Nanti akan Ibu belikan oleh-oleh untuk kamu."

Karin hanya bisa mengangguk pasrah mendengarkan ucapan ibunya. Yang bisa dilakukannya hanyalah menurut, karena sekuat apapun Karin mencegah, orangtuanya akan tetap pergi.

Karin melambaikan tangannya dari kejauhan melihat kedua orangtuanya sudah masuk ke dalam mobil dan mulai melaju meninggalkannya. Kemudian Mbah We pun mengajak Karin untuk masuk ke dalam vila, mengingat sebentar lagi menjelang adzan Magrib.

Di dalam vila, tidak banyak yang bisa dilakukan Karin. Biasanya ia akan bergurau dengan ibunya sambil menonton tv, tapi sekarang ia hanya bisa menonton tv sendirian untuk satu minggu lamanya.

Mbah We datang menghampiri Karin yang sedang duduk termenung sambil memandang kosong ke arah tv tersebut, kemudian Mbah We menyodorkan sepiring nasi goreng untuk Karin makan malam. Karin pun menerimanya lalu lekas memakannya tanpa berkata apa-apa.

"Bapak saha biyungmu bakal enggal bali. Ora usah sumelang." Begitulah yang Mbah We tuturkan padanya. Karin pun hanya bisa mengiyakan.

Namun, satu minggu itu entah kenapa terasa begitu lama bagi Karin. Karin terus menanti kembalinya orangtuanya dengan perasaan tidak sabar. Wajahnya yang selalu ceria kini tampak muram, nafsu makannya pun berkurang, dan ia sering bermalas-malasan padahal biasanya ia akan bermain dengan anak seusianya di tengah desa.

Mbah We yang melihat keadaan Karin merasa prihatin. Sebenarnya sekarang sudah lebih dari satu minggu dan orangtua Karin belum kembali juga, atau lebih tepatnya mereka tidak akan pernah kembali.

Karin menghampiri kakeknya yang sedang duduk di kursi pendhopo. Sekarang mereka tidak lagi berada di vila melainkan sudah pindah ke rumah Mbah We yang letaknya cukup dekat dengan tengah desa. Karin pun lalu duduk di kursi di samping kakeknya.

"Ana apa, cah ayu?"

"Ayah dan Ibu kenapa belum pulang? Ini sudah lewat berapa hari?"

Mbah We merasa bimbang. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, namun ia tidak tega. Setiap hari ia pun hanya bisa mengulur-ulur kebohongannya.

"Sedelo maneh, Ngger."

Karin mengangguk mengiyakan. "Mbah, semalam aku mimpi. Ada laki-laki mukanya nyeremin, dia nyeret Ayah sama Ibu sampai berdarah-darah."

"Hush. Kowe aja waton matur."

"Ayah sama Ibu baik-baik aja kan, Mbah?"

"Ya," jawab Mbah We singkat. Sebenarnya, bukan kali pertama Karin mengatakan mimpi yang sama. Karin bercerita seperti itu hampir setiap hari setelah kepergian orangtuanya. Mimpi itu sebenarnya adalah kenyataan.

Mbah We tidak tahu sejak kapan Karin memiliki kemampuan seperti itu. Karin memang punya, tapi tidak pernah menyadarinya apalagi terpikir untuk menggunakannya. Bayangan-bayangan tentang berbagai hal pun selalu tiba-tiba datang saat Karin melamun. Namun, Karin selalu menganggapnya kalau ia sedang teringat pada mimpi yang dialaminya ketika tidur. Karin juga tanpa sadar sering membiarkan pikirannya kosong. Itulah sebabnya tubuhnya mudah dirasuki.

Sudah berhari-hari Karin mendapatkan bayangan yang sama, yakni tentang bagaimana orangtuanya diseret dan disiksa oleh seseorang yang sangat menyeramkan. Karin pun sering mengadukan hal tersebut kepada Mbah We, tetapi kakeknya itu tidak kunjung menjelaskan apa maksud dari itu semua.

KELANAWhere stories live. Discover now