16. Tiga Tahun Lalu

39 8 0
                                    

ARUNA. Dalam bahasa Jawa, tembung itu merupakan dasanama dari matahari. Dinamai begitu karena matahari merupakan perlambang unsur kehidupan yang paling utama. Memberi pepadhang, kekuatan, dan daya yang merata kepada semua makhluknya. Tak ayal matahari pernah dipuja pada zaman dahulu.

Kekuatan matahari mendeskripsikan keluarga Aruna. Keluarga itu memiliki keturunan yang berlimpah harta, rasa hormat, dan derajat yang tinggi di masyarakat. Keluarga itu menjadi keluarga yang sangat terpandang di desa.

Pemilik vila itu, Ki Ageng Yitna Aruna dan Dewi Ratri Aruna, merupakan orang yang berpengaruh dan sangat disegani di desa. Mereka terkenal baiknya, sering membantu dan memberikan sumbangan kepada orang yang membutuhkan. Orang-orang desa pun menjadi sangat menghormatinya karenanya.

Tapi, di balik semua harta itu, ada campur tangan iblis di dalamnya. Mereka melakukan pesugihan, mengikat perjanjian dengan iblis, dan memberikan tumbal manusia setiap malam Jumat Kliwon. Gubuk tua di belakang vila itu menjadi saksi praktik haram Ki Yitna dan Dewi Ratri, orangtua Mbah We.

Kekayaan mereka semakin melimpah, hari demi hari, tidak ada orang sama sekali yang mengetahui perbuatan mereka berdua bahkan Mbah We sekalipun. Sampai suatu hari mereka tidak bisa lagi memberikan tumbal manusia, hingga iblis itu dengan ganasnya membunuh mereka berdua serta istri Mbah We dan anak-anak Mbah We, lalu dengan mudahnya memanipulasi kematiannya.

Kini, misinya adalah menghabisi keturunan keluarga Aruna yang tersisa, yakni Karin dan Mbah We. Sampai kemudian Mbah We berhasil dibunuhnya, bersamaan dengan hilangnya Dayu, tiga tahun yang lalu.

Dan sekarang, yang tersisa tinggal Karin. Seorang gadis misterius yang merupakan cucu Mbah We. Yang membuatnya masih hidup sampai sekarang adalah karena iblis itu hanya bisa memasuki raga Karin tanpa pernah bisa membunuhnya.

Karin istimewa, pemilik kalung berbandul permata hijau. Itulah yang menangkal kematiannya dari iblis. Sekuat apapun iblis itu berusaha membunuh Karin dengan melukainya sekalipun, tetap tidak bisa. Yang bisa membunuh Karin hanyalah manusia bukan iblis.

Sementara iblis itu tetap hidup dan semakin kuat karena ada jiwa yang terikat dengannya. Dan ikatan itu tidak akan pernah putus, kecuali permata hijau itu dihancurkan dan mati.

...

Seorang laki-laki turun dari mobil miliknya, yakni mobil berwarna silver yang menyilaukan ketika terpapar sinar matahari. Ia memarkirkan mobil itu di halaman vila. Nama vila-nya sendiri adalah Vila Meladewa. Ia sengaja menyewa vila tersebut selama libur semester dua kelas sepuluhnya untuk beberapa minggu.

Dengan menggendong sebuah ransel besar, laki-laki yang bernama Dayu itu beranjak menyusuri halaman vila yang luas dengan rumput hijau yang begitu lembut menyentuh alas sepatunya, menghampiri dua orang yang berdiri menantinya di teras vila. Dayu pun melayangkan senyumnya dari kejauhan.

"Sugeng rawuh, Mas Dayu." Seorang kakek tua berusia 68 tahun menyapa Dayu dengan ramah diiringi senyumnya yang khas. Kakek ber-blangkon dan berpakaian surjan itu menjabat tangan Dayu erat sambil tertawa renyah. Dayu membalasnya dengan senyum yang kaku. Dirinya adalah tipe orang pemalu.

"Terima kasih, Kek."

"Kabaripun slamet, to?"

"Iya, Kek. Alhamdulillah."

"Oh, apik nek ngono, haha." Sekali lagi Dayu membalas tawa kakek yang bernama Mbah We itu dengan senyum kaku. "Jenengku Mbah We. Iki putuku, jenenge Karin. Dheweke bakal nguduhake perangan vila iki kanggo panjenengan."

Gadis manis di samping Mbah We tersenyum tipis kepada Dayu. Wajahnya tersipu merah menahan malu. Begitupun dengan Dayu yang wajahnya juga sama merahnya seperti sang gadis. Sepertinya Dayu merasa tertarik pada pandangan pertama pada Karin.

"Dayu." Dayu menjabat tangan Karin yang seputih salju itu. Lalu Karin membalasnya dengan menyebutkan namanya pula.

"Karin." Kemudian mereka saling melepaskan jabat tangannya masing-masing.

Rambut hitam sebahu Karin digerai, poninya menutupi dahinya, ia mengenakan jepit rambut hitam di sebelah kiri, dan mengenakan dress lengan pendek selutut berwarna cerah, serta sepatu slip berwarna putih.

Dayu memanggilnya 'Putri Salju' karena Karin terlihat begitu cantik di matanya. Dayu hampir tak berkedip memandangi Karin yang sedikit menunduk itu setelah berjabat tangan. Sampai kemudian deheman Mbah We memecahkan kecanggungan yang ada.

"Ehm, Mas Dayu nek badhe leren monggo mlebet mawon. Karin sing bakal nguduhake senthonge Mas Dayu. Aku arep ning sawah."

"Eh, iya, Kek. Sekali lagi terima kasih."

Mbah We mengangguk. "Yo wis, tak tinggal mulih. Mengko baline aja kesorean ya, Karin." Mbah We mengacak lembut pucuk kepala Karin. Karin pun mengangguk mengiyakan perintah kakeknya. Setelah itu, Mbah We pun segera pergi dari vila dengan berjalan kaki.

Karin menoleh ke arah Dayu. "Ayo, masuk. Mau aku bantu bawain barangnya?" tanya Karin ramah dengan suaranya yang begitu lembut, membuat Dayu semakin terpukau.

"Nggak usah, ini berat. Aku bisa bawa sendiri," jawab Dayu sambil mengikuti Karin yang kemudian menuntunnya masuk ke vila.

Vila itu bersih dan luas. Banyak ventilasi di atasnya yang membuat angin luar yang sejuk dengan leluasa bebas keluar masuk. Perabotan-perabotan yang ada tersusun rapi, pun guci-guci besar di sudut ruangan dan lukisan-lukisan wayang di dinding nampak terawat dan tak berdebu.

Semakin masuk ke dalam ada ruang tengah yang diisi kursi kayu panjang. Di hadapannya ada televisi analog yang berupa tabung circuit. Kemudian di samping ruang tamu ada sebuah pintu, itulah pintu menuju kamar yang nantinya akan Dayu tempati. Karin membuka pintunya, terdapat tiga ranjang di sana.

Dayu meletakkan ranselnya di ranjang yang paling dekat dengan jendela, dengan sebuah nakas di sebelahnya. Kemudian ia kembali keluar menghampiri Karin yang menunggunya di depan pintu. Karin lalu mengajak Dayu melihat-lihat area dapur. Ia juga menunjukkan letak kamar mandi. Karin menjelaskan secara singkat tentang bagian-bagian vila itu, membuat Dayu merasa sedang dipandu oleh pemandu tour. Hanya saja pemandunya lebih cantik.

Dayu meminta Karin mengajaknya berkeliling desa untuk melihat pemandangan sawah yang ada. Karin pun menurutinya dengan senang hati. Akhirnya mereka berdua berkeliling desa dengan berjalan kaki sambil melihat-lihat sawah serta bermain air di sungai.

Di pinggir jalan, hamparan tanaman mawar merah tampak menarik perhatian. Dayu memetik mawar merah itu setangkai, kemudian memberikannya kepada Karin.

"Buat kamu."

"Terima kasih." Karin menerimanya sembari mengulum senyum. Kemudian, Dayu melanjutkan berbicara.

"Kamu tahu nggak apa arti mawar merah?"

"Apa?" tanya Karin balik.

"Cinta yang abadi." Dayu tersenyum. Rasanya terlalu cepat bagi Dayu untuk merasakan jatuh cinta pada Karin.

KELANAWhere stories live. Discover now