42. Riris

18 3 0
                                    

Sudah berhari-hari Riris tidak melihat Dayu ataupun Gerri keluar dari rumah mereka. Riris pun hanya bisa menatap halaman rumah yang kosong tanpa keberadaan kedua teman laki-lakinya itu. Dalam hati ia bertanya-tanya dimana keberadaan Dayu dan Gerri.

Kemudian mata Riris dibuat berbinar ketika melihat seorang anak lelaki keluar dari pintu depan. Ia tampak menggendong ransel. Hanya saja Riris tidak bisa memastikan apakah itu Dayu atau Gerri. Dengan lantang, Riris berteriak memanggil orang itu sambil melambaikan tangannya dari luar gerbang.

"Hai!" teriak Riris. Segera orang yang diteriakinya tersebut menghampirinya dengan langkah tergopoh-gopoh.

"Sedang apa kamu di sini?" timpalnya tanpa membuka gerbang dan mempersilakan Riris masuk terlebih dahulu.

"Kamu Rendra atau Gerri?"

"Rendra," jawab Gerri berbohong.

"Lalu dimana Gerri?"

"Dia pergi ke luar negeri bersama Bu Dewi dan Pak Winarto."

"Benarkah? Kenapa dia nggak bilang padaku dulu?"

"Itu nggak penting."

"Kamu nggak ikut?"

"Sudahlah, cepat katakan saja apa maumu?"

"Kamu nggak seperti biasanya, Rendra."

"Aku buru-buru, Ris."

"Baiklah. Aku hanya ingin bilang, aku dan keluargaku akan pindah ke Jakarta menyusul nenek. Aku akan berangkat siang ini."

"Baguslah."

"Kamu nggak sedih?"

"Untuk apa? Itu hal yang bagus. Kamu akan mendapatkan kehidupan baru di sana."

"Tapi, kita akan berpisah."

"Tenang saja, kita pasti akan bertemu lagi kok."

"Kamu janji?"

"Tentu." Gerri memaksakan senyumnya. "Kalau begitu aku juga harus pergi."

"Kamu mau kemana menggendong ransel seperti itu?"

"Ke tempat yang jauh." Gerri membuka gerbang kemudian berjalan meninggalkan Riris begitu saja.

Riris sedikit kecewa karena Gerri yang dikiranya Dayu itu sama sekali tidak mengucapkan selamat tinggal untuk melepas kepergiannya ke kota seberang. Dengan langkah gontai, Riris pun meninggalkan depan rumah besar itu dan berjalan kembali ke rumahnya yang berada tak jauh dari sana.

Riris bisa melihat sebuah rumah yang sehari-hari menjadi tempat bernaungnya. Rumah itu tidak terbuat dari batu bata dan bercat warna-warni, melainkan terbuat dari triplek yang sudah usang dan jelek karena dimakan rayap. Atapnya pun bukan terbuat dari genteng, tetapi hanyalah seng lapuk penuh lubang yang tidak bisa melindungi dari hujan, sedangkan ketika siang hari di dalam rumah terasa membakar.

Ukuran rumah itu juga terbilang sempit, yaitu hanya 2x2 meter. Bayangkan saja entah bagaimana kumuhnya keadaan di dalam, belum lagi harus berdesakan dengan sampah botol dan plastik yang dipungutnya setiap hari. Riris menghela nafasnya, memikirkan kapan kehidupannya akan berubah. Jika terus seperti itu, tentu ia tidak akan pernah bisa bersekolah. Namun, setidaknya Riris beruntung karena mempunyai orangtua yang selalu menyayanginya meskipun berada dalam keadaan ekonomi yang sangat kekurangan.

Orangtua Riris terlihat sudah menanti Riris di depan rumah. Mereka lalu melambaikan tangannya kepada Riris begitu melihat kedatangan anak perempuannya itu. Di samping mereka sudah ada satu kardus besar berisi beberapa barang-barang mereka yang akan dibawa untuk merantau ke kota sebelah. Riris lalu menghampiri kedua orangtuanya dengan senyum lebar yang terus dipaksakannya setiap hari. Mereka akan naik bus untuk menghemat uang yang tidak seberapa mereka miliki.

...

Keluarga Riris sampai di sebuah rumah besar bertingkat dengan cat kuning yang mendominasi. Rumah itu tampak asri dengan pohon mangga rimbun yang tumbuh di halaman rumahnya. Riris memandangi rumah itu dengan perasaan takjub sekaligus bingung mengapa orangtuanya membawanya menuju rumah besar itu. Sementara kedua orangtua Riris masih memandangi rumah itu dengan sumringah dan belum mengatakan sepatah katapun kepada Riris.

"Apa ini rumah nenek?" tanya Riris dengan polosnya.

"Tidak, Nak. Ini rumah kita." Ibu Riris membelai rambut Riris lembut tanpa mengalihkan pandangannya sedetikpun dari menatap rumah itu.

"Maksudnya Ayah dan Ibu akan bekerja di rumah ini?"

"Tidak, Nak. Ini benar-benar rumah kita," jawab Ayah Riris, lalu ia mengajak istri dan anaknya untuk masuk ke dalam.

Ayah Riris tampak membuka rumah itu dengan kunci yang dikeluarkannya dari sakunya. Riris yang melihatnya dibuat bingung. Tidak mungkin orangtuanya bisa tiba-tiba memiliki rumah sebesar itu di kota sementara selama ini kehidupan mereka di desa saja sekedar untuk makan begitu susah.

"Lihat, Ris. Rumahnya besar sekali!" seru Ibu Riris sembari menyentuh satu persatu perabot yang ada di ruang tamu dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya.

"Cobalah duduk di sofa ini, sangat nyaman," sambung Ayah Riris yang tengah duduk di sofa yang ada di sana dengan senyum yang tak kalah lebar dibanding senyum Ibu Riris. Ibu Riris lalu ikut-ikutan duduk di sofa seperti suaminya.

"Ayah, Ibu. Aku masih belum mengerti. Apakah ini benar-benar rumah kita sekarang?"

"Ya. Kita akan tinggal di sini mulai sekarang."

"Apakah ini tidak terlalu berlebihan?"

"Apanya yang berlebihan, Nak? Kita akan hidup enak mulai sekarang. Dan kabar baiknya, kamu juga akan bersekolah."

"Tapi, bagaimana kalian bisa punya rumah sebesar ini? Dan juga bagaimana dengan biaya sekolahku?"

"Kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Bu Dewi yang telah memberikan kita rumah ini. Untuk biaya sekolahmu, kami akan bekerja untuk itu."

"Benarkah? Bu Dewi baik sekali!" raut wajah Riris berubah sumringah. Ia tidak menyangka kehidupannya bisa tiba-tiba berubah dalam semalam.

Ia pun mulai menjelajahi rumah itu. Perasaannya begitu senang tak tertahankan.

Beberapa minggu Riris berada di sana, ia sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Lingkungan yang sekarang benar-benar berbeda dengan keadaan lingkungannya yang dulu. Sekarang banyak tetangganya yang sangat baik dan ramah menyapanya. Segala kebutuhan Riris juga terpenuhi, orangtua Riris memberikan apa saja yang Riris mau. Tapi, sayangnya lama kelamaan sikap kedua orangtua Riris mulai berubah kepadanya.

Pagi itu, Riris baru saja akan berangkat ke sekolah dengan diantar ayahnya yang sudah berpakaian kerja rapi. Selagi menunggu ayahnya mengeluarkan mobil dari garasi, Riris memilih untuk menunggu di depan gerbang rumah. Terlihat seorang nenek renta yang membawa gelas air mineral bekas dengan beberapa receh di dalamnya lewat di depan Riris.

Karena merasa iba, Riris berniat memberi pengemis tersebut uang. Ia pun merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan selembar uang untuk diberikannya kepada nenek tersebut. Baru saja ia memasukkan uangnya ke dalam gelas yang dibawa oleh si pengemis, tiba-tiba saja Ayah Riris yang baru datang langsung menarik tangan Riris untuk menjauh dari pengemis tersebut.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Ayah Riris tampak marah.

"Aku hanya ingin memberinya uang."

"Tidak perlu."

"Tapi, kenapa, Yah? Bukannya dulu Ayah mengajarkanku untuk memberi kepada orang yang membutuhkan?"

"Memang. Tapi, tidak dengan sekarang. Apa kamu tidak tahu bagaimana sulitnya Ayah mencari uang sedangkan orang ini tinggal meminta-minta?"

"Ia nenek tua, Yah. Apa Ayah nggak merasa kasihan?"

"Kalau begitu nenek ini minta uang saja kepada anaknya atau cucunya. Dasar tidak becus mengurus orang tua." Ayah Riris pun langsung menarik Riris untuk masuk ke dalam mobil mereka. "Ingat ya, kamu jangan pernah memberikan uang Ayah kepada pengemis." Ayah Riris mengambil kembali uang yang tadi Riris masukkan ke dalam gelas nenek itu sebelum akhirnya ia pergi dengan mobilnya meninggalkan si pengemis.

KELANAWhere stories live. Discover now