39. Pangeran Jahat

14 3 0
                                    

Dayu meneguk salivanya kasar. Segera ia mengikuti langkah Gerri yang sudah pergi lebih dahulu. Mereka masuk ke dalam rumah, lalu berlari melewati anak tangga. Tapak kaki kecil mereka terdengar menggema. Tapi, karena saking luasnya rumah itu, tidak ada seorangpun yang dapat mendengar derap lari mereka. Kemudian mereka berdua sampai di depan pintu ruangan yang akan mereka masuki. Hawa dingin langsung mencekik Dayu. Ia menggenggam tangan Gerri erat.

"Kalau kamu takut, kamu bisa mengawasi di luar."

Dayu menggeleng. Di dalam atau di luar sepertinya akan terasa sama saja. Lebih baik Dayu juga mengikuti Gerri untuk masuk. Dayu heran kenapa saudara kembarnya itu sama sekali tidak punya rasa gentar di dalam hatinya. Kemudian Gerri mencoba membuka pintu itu dengan jepit rambut yang tadi didapatkannya dari Riris. Dengan cekatan, akhirnya tangan mungilnya itu berhasil membuka pintunya. Gerri tersenyum puas.

"Ayo." Gerri menarik tangan Dayu untuk masuk ke dalam ruangan itu.

Sebuah pemandangan pun langsung mengejutkan mereka.

Mayat seorang gadis kecil terkulai tak bernyawa bersimbah darah. Tangan dan kakinya terikat pada sebuah kursi kayu yang didudukinya. Kepalanya menumpu pada pundak kanannya, membuat rambut berwarna kecoklatannya menggantung bagai sarang laba-laba.

Matanya memandang kosong ke arah mereka berdua. Hanya ada lubang hitam dengan darah berwarna merah tua. Bola matanya sudah tidak berada di tempat yang seharusnya.

Bagian depan gaun yang dikenakannya sobek, membuat siapapun dapat melihat dengan jelas perut gadis itu yang menyemburatkan usus miliknya. Perutnya yang menganga meneteskan darah kental ke lantai, membuat genangan anyir di bawah kursi. Jantung, hati, dan ginjal miliknya sudah berpindah tempat di atas sebuah nampan aluminium yang tergeletak di atas meja. Berjajar dengan alat operasi kedokteran lainnya yang tersusun rapi.

Sementara di sudut ruangan, bertumpuk banyak kardus berbagai ukuran, serta ada sebuah meja kerja di sebelahnya yang penuh dengan tumpukan map berwarna coklat.

Gerri mengepalkan tangannya kuat-kuat, giginya bergemeretak hebat, air mata tiba-tiba jatuh mengaliri pipinya. Ia mendekat ke arah mayat gadis kecil tadi, tangannya dengan gemetar mengelus pucuk kepala sang gadis. Air matanya mengalir semakin deras.

"Clara...."

Gerri bersimpuh di lantai. Ia berusaha menahan tangisannya agar tidak menimbulkan suara. Dayu ikut bersimpuh di samping Gerri, kemudian mengelus pundak Gerri pelan.

"Pembunuh! Lihatlah betapa kejinya mereka! Mereka sudah membunuh Clara!" seru Gerri penuh amarah.

"Hantu gadis kecil tadi pagi adalah Clara?"

"Ya! Clara adalah temanku di panti. Dia gadis yang baik. Nggak seharusnya mereka membunuh Clara!"

"Aku mengerti kamu sangat marah, Gerri. Tapi, kita harus secepatnya keluar dari sini. Mereka semua nggak suka kita."

Dayu menoleh ke sekelilingnya. Hanya ia yang bisa melihat tatapan-tatapan kosong hantu dari anak-anak yang sudah Bu Dewi dan Pak Winarto bunuh. Sekarang Dayu bisa melihat wujud mengerikan mereka secara jelas, setelah sebelumnya yang mereka tampakkan kepada Dayu adalah wujud yang normal. Semuanya tidak memiliki bola mata, perutnya juga bolong, dan organ dalamnya tidak ada. Mereka melayang dan mengitari Gerri dan Dayu.

Gerri mengusap air matanya kasar, kemudian mereka berdua segera keluar dari ruangan itu. Tak lupa Dayu menutup pintunya dengan hati-hati sebelum mereka berdua benar-benar pergi. Gerri langsung melenggang ke kamarnya. Dayu menghela nafasnya sekejap kemudian segera mengejar Gerri. Ternyata Gerri tidak sekuat dugaannya, ia juga bisa menangis.

Gerri membenamkan wajahnya pada bantal, ia masih terus menangis. Kedua matanya sudah bengkak, berwarna merah dan tidak bisa keluar air mata lagi. Dayu hanya bisa menatap Gerri yang telungkup di sampingnya. Ia tidak tahu harus menenangkan Gerri bagaimana lagi. Dayu hanya bisa menunggu Gerri lelah menangis dengan sendirinya.

KELANADonde viven las historias. Descúbrelo ahora