31. Manusia Bisa Berubah

20 3 0
                                    

Riris menendang-nendang dengan kesal kerikil di depannya. Membuatnya terlontar ke sungai hingga menghasilkan bunyi kecipak yang memenuhi indera pendengarannya. Riris terus menggerutu. Umpatan demi umpatan dilayangkannya dalam hati. Memang, wanita tidak mudah dimengerti.

Srek.

"Aduh." Jemari kaki kanan Riris yang sedari tadi menendang-nendang kerikil tanpa sengaja tergores salah satu dari kerikil itu, membuat jempol kakinya lecet dan mengeluarkan darah. Riris membiarkannya saja. Kemudian ia duduk tanpa alas di tepian sungai itu. Kini beralih tangannya yang melempar-lempar kerikil tersebut ke aliran sungai.

"Siapa yang keras? Batunya atau Riris?"

Akas yang tiba-tiba datang langsung duduk di samping Riris. Riris hanya meresponnya dengan menoleh sebentar kemudian kembali ke aktivitas awalnya, melempar kerikil. Ia tidak ingin takjub dengan kedatangan lelaki itu.

"Mau tahu sesuatu?" Akas menoleh ke arah Riris di sebelahnya. Namun, yang bisa ia lihat hanyalah rambut gelombang sebahu yang menjuntai di pundak. Fokus pandangan Riris hanya kepada aliran sungai. Riris tampak memeluk lututnya sendiri yang ia tekuk. Tidak bisa Akas lihat hidung mancung dan bola mata hitam milik Riris yang sengaja berpaling darinya.

"Oke, gue rasa lo sama sekali nggak tertarik." Akas membuang wajah ke arah sebaliknya.

"Gue pikir lo yang mau tahu sesuatu dari gue," sambar Riris tanpa sekalipun menggerakkan kepalanya sekedar menatap lawan bicaranya.

"Lupakan masalah itu sejenak, gue lagi nggak ingin membahasnya. Lagipula, sepertinya lo sama sekali lagi nggak berminat membicarakan apapun, kan?"

"Apa gue harus menjawab pertanyaan yang sebenarnya bisa lo jawab sendiri?"

"Gue rasa nggak perlu." Akas melemparkan sebuah kerikil dan tepat mengenai kerikil yang bersamaan Riris lemparkan, alhasil kedua kerikil itu terpental ke arah yang berlawanan.

"Water can flow or it can crash," ucap Akas, lalu Riris tergerak untuk meneruskannya.

"Air dapat mengalir atau bisa juga menghancurkan."

"Ya, ternyata lo juga tahu itu."

"Kutipan Bruce Lee?" Riris menoleh ke arah Akas di sampingnya. Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Namun, tidak ingin cepat-cepat mereka berpaling.

"Lengkapnya, 'be like water making its way through cracks. Empty your mind, be formless, shapeless, like water'. Kurang lebih begitu, kutipan Bruce Lee yang selalu menjadi favorit gue," jelas Akas. Kali ini membuat Riris takjub dan menaruh perhatian akan ucapannya sekejap.

"Menakjubkan," ucapnya menanggapi. Kemudian untuk yang kesekian kali, Riris membuang wajah lagi dari Akas. "Tapi, mengapa harus air? Bukankah kita bisa menjadi lebih kuat lagi? Berpendirian, keras, menghancurkan dan tidak mudah dihancurkan, seperti batu?"

"Memang. Tapi, nyatanya hati manusia nggak bisa sekuat itu." Akas mengambil sebuah batu yang berlumut, kemudian menunjukkannya tepat di hadapan Riris. "Sekuat apapun, pasti akan ada yang menghancurkannya." Akas melemparkan begitu saja batu berlumut tersebut ke arah sungai. Namun, hanya sampai tepian, membuat airnya menyiprat ke arah mereka berdua.

"Lo bisa cerita apapun sama gue, Ris. Maaf, gue nggak pandai mengoreksi diri sendiri. Gue harap lo bilang langsung aja sama gue, biar masalahnya nggak semakin rumit," lanjut Akas.

"Gue kira lo nggak peduli."

"Gue nggak ingin lo memikirkan itu sendirian, apalagi yang menyangkut gue."

"Sedangkan lo sendiri? Lo memikirkan semua itu sendiri tanpa menyangkut pautkan gue sama sekali."

"Lo nggak ada hubungannya dengan hal ini."

KELANAWhere stories live. Discover now