53. Ritual Akhir

17 3 0
                                    

Kakinya melangkah cepat pada jalan setapak yang mulai basah karena gerimis. Sementara tangan kirinya ia letakkan di atas kepala berusaha menangkis air hujan agar tidak mengenai wajahnya. Ia mengenakan jaket yang senantiasa melekat di tubuh tegapnya untuk menghalau dinginnya cuaca di desa. Pun sepatu putih yang dikenakannya terlihat mulai basah karena berjalan di beceknya jalanan.

Di depan Akas, berdiri sebuah rumah Joglo yang menjadi satu-satunya bangunan di sana. Ia lalu mempercepat langkahnya agar bisa lekas berteduh di rumah Karin tersebut. Akas mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya Karin membuka pintu rumahnya. Dapat dilihat olehnya Akas berdiri tepat berhadapan dengannya.

"Hai," sapa Akas dengan nafas yang sedikit tidak beraturan karena dingin. Karin pun menanggapinya dengan anggukan.

"Masuk dulu," tawar Karin, namun dengan cepat ditolak oleh Akas.

"Nggak usah. Gue bicara sama lo di luar aja."

"Soal apa?"

"Bu Dewi. Kasus penyeludupan di panti asuhan itu sekarang udah selesai."

"Itu bagus." ucap Karin dengan mata berbinar. "Lalu sekarang bagaimana?"

"Gue pikir ada satu hal untuk menyelesaikannya." Karin mengangkat sebelah alisnya begitu Akas menjeda kalimatnya. "Kita harus melakukan pemanggilan arwah di gubuk itu."

"Hah?" Karin begitu terkejut mendengar ucapan Akas. Ia tidak percaya bahwa Akas mengusulkan untuk melakukan hal seperti itu. "Kamu nggak serius, kan?"

"Apa lo punya saran lain? Menurut gue itu adalah salah satu cara untuk memanggil iblis itu dan kita bisa langsung melawannya."

"Aku pikir itu terlalu terburu-buru."

"Kenapa? Apa ada yang lo takutin?"

"Energi kita berdua nggak akan cukup untuk melawannya."

"Sepertinya sudah waktunya bagi Rendra dan Riris untuk tahu."

"Itu bukan ide bagus," sangkal Karin. "Mereka nggak seharusnya kita tarik dalam masalah ini."

"Tapi, kita cuma punya mereka yang bisa membantu kita."

"Sebenarnya ada satu hal yang perlu kamu tahu."

"Maksud lo?"

"Dia bukan Riris seperti yang kamu pikirkan."

"Hah?"

"Baiklah. Kita harus pergi sekarang." Karin menarik tangan Akas pergi dari rumahnya, tanpa khawatir dengan hujan yang menyerbu mereka.

Karin membawa Akas melewati semak-semak, menembus pepohonan pinus, hingga pada akhirnya mereka sampai di sebuah pondok yang nampak asing bagi Akas. Di sebelahnya ada sebuah gundukan tanah yang Akas duga adalah makam seseorang. Pondok itu adalah pondok yang pernah Karin singgahi dalam mimpi. Tak lain adalah tempat kuburan Nyi Kanthil.

"Kita mau ngapain di sini?" tanya Akas sambil melepaskan tangan Karin yang semula menggenggam tangannya.

Karin menggeleng. "Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu sama kamu."

Akas memilih diam. Sekarang dirinya beralih melihat Karin melakukan suatu hal yang tidak dipahaminya. Ia mengetuk pintu pondok tiga kali, kemudian mengeluarkan kalungnya yang ia sembunyikan di balik baju, lalu menggenggam kalung yang dikenakannya itu dengan erat sambil memejamkan mata dan merapalkan doa. Kemudian pintu terbuka dengan sendirinya, tanpa angin atau apapun yang menjadi penyebabnya. Samar-samar dari dalam pondok, Akas bisa melihat seseorang berjalan keluar.

"Riris?" mata Akas melebar sempurna. Ia benar-benar tidak menyangka jika Riris bisa tiba-tiba berada di pondok itu yang seharusnya sama sekali tidak diketahuinya. "Lo nggak lagi bercanda, kan? Ini benar-benar Riris?" Akas mendelik kepada Karin meminta penjelasan.

KELANAWhere stories live. Discover now