41. Kehidupan Baru

17 3 0
                                    

Selamat datang di Kalimantan.

Di pikiran orang, pulau itu dominan dengan hutan yang lebat. Memang benar. Jajaran pepohonan rimbun menyapa sebuah kapal yang mulai mendekat ke arahnya. Ombak laut malam yang bergulung-gulung terlihat mengerikan seakan siap melahap benda apa saja. Terlihat kapal itu dengan nekatnya menerobos ombak hingga membuatnya terombang-ambing di tengah laut. Kapal itu adalah kapal penyeludup, tanpa surat-surat atau apapun. Serta ada bahaya di dalamnya.

Dayu terbaring tidak sadarkan diri di salah satu ruangan yang ada di kapal tersebut, bersatu dengan tumpukan-tumpukan kardus berisi organ dalam manusia yang sudah diawetkan. Suara seseorang yang sedang mencakar-cakar lantai kapal terdengar nyaring, membangunkan Dayu secara paksa dari pingsannya.

Dayu membuka matanya, kemudian mengedarkan pandangannya yang masih kabur itu ke sekelilingnya. Remang-remang lampu 5 watt menerangi ruangan sempit itu. Dayu lalu duduk dan menyandarkan tubuh lemasnya. Tangan mungilnya yang penuh lecet bergerak mengusap sudut bibirnya yang terdapat noda darah yang sudah mengering.

Di samping tumpukan kardus itu, mata Dayu dapat menangkap bayangan seseorang yang menjadi asal suara cakaran yang tadi didengarnya. Perlahan Dayu mendekat ke arahnya. Ada seorang anak laki-laki menangis tanpa suara di sana. Ia tampak sesenggukan sambil mencakar-cakar lantai kapal, membiarkan kukunya lecet dan berdarah.

Anak kecil itu berambut hitam gelombang, tubuhnya berisi, kulitnya sawo matang, ia mengenakan kaos dan celana pendek sederhana. Bisa ditaksir usianya lebih tua dua tahun daripada Dayu.

Dayu melihat anak lelaki itu iba. Tangan kanannya pun terulur untuk menyentuh pundak lelaki itu, membuatnya berhenti mencakar-cakar lantai kapal dan menoleh ke arah Dayu. Matanya terlihat begitu sembab.

"Kamu siapa?" tanya Dayu lembut kepada anak lelaki itu.

"Namaku Buana," ucapnya memperkenalkan diri. Pandangannya tak sekalipun lepas dari Dayu.

"Hai, namaku Dayu. Kenapa kamu menangis?"

"Aku ingin bebas."

"Apa kamu sama seperti Clara?"

"Ya."

"Apa kamu juga ingin aku membunuh Bu Dewi dan Pak Winarto agar jiwamu bebas?"

"Ya."

"Aku nggak mau melakukannya."

"Bunuh saja."

"Aku nggak bisa melakukannya."

"Bunuh mereka!"

Buana memelototkan matanya, sama seperti Clara tadi, bola matanya langsung meloncat keluar, begitupun darah langsung merembes membasahi perutnya. Mulutnya mengeluarkan busa, dan kedua tangannya yang tadinya mencakar-cakar lantai kapal itu kini terpotong hingga ke siku menampakkan tulang berwarna putih yang terbalut daging berwarna kemerahan.

"Apa kamu juga mau menyakitiku seperti Clara?" Dayu terlonjak mundur dengan sendirinya, pantatnya mendarat dengan kasar di lantai kapal. Hatinya was-was kalau Buana akan menyakitinya seperti yang dilakukan Clara tadi.

Buana merangkak terseok-seok mendekati Dayu. Ia tampak kesulitan menyeimbangkan diri. Dengan keadaannya yang seperti itu membuat Dayu agak sedikit tenang karena pasti Buana tidak akan dengan mudah menghampirinya. Namun, dugaan Dayu salah. Secepat kilat Buana sudah beralih menindih punggungnya. Ia menyeringai meremehkan Dayu. Dayu pun meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

"Kamu telah mengikat jiwa kami, karena itu kami nggak pernah bisa bebas. Kamu juga telah melindungi dua orang tua jahat itu sehingga kami tidak bisa membunuhnya."

KELANAWhere stories live. Discover now