45. Menjadi Orang Lain

18 3 0
                                    

Keputusan di pengadilan sudah keluar. Hukuman yang ditimpakan kepada Gerri dikurangi karena adanya berkas itu. Selama setahun Gerri benar-benar diawasi oleh kepolisian dan ia ditempatkan di penjara khusus yang ada di sana. Baru hari ini akhirnya ia bisa keluar dan menghirup udara bebas. Gerri pun diantarkan oleh Hamdan menuju rumah neneknya, yakni ibu dari ayahnya dulu.

Rumah nenek Gerri ada di pinggiran kota yang minim penduduk. Hamdan lebih memilih mengantarkan Gerri ke sana menggunakan mobil. Setelah sampai di sebuah rumah yang hampir mirip pondok kayu itu, Hamdan pun meninggalkan Gerri di sana untuk tinggal bersama neneknya.

Gerri mengetuk pintu sedikit keras, malah terbilang seperti gedoran bukan ketukan. Ia beranggapan kalau telinga neneknya sudah tuli karena usia tua. Tidak menunggu lama, nenek Gerri keluar. Rambutnya masih hitam, namun beberapa diantaranya sudah mulai beruban. Cekungan di matanya terlihat jelas karena tubuhnya yang begitu kurus. Urat nadi kebiruannya pun terlihat menonjol dibalik kulit berwarna kecoklatan yang melekat di tulang belulangnya.

Nenek itu mengenakan kemban polos berwarna coklat pudar dan kain selendang batik bermotif Sidomukti yang dilingkarkan di pinggangnya sebagai bawahan. Sementara kakinya sama sekali tidak mengenakan alas apapun. Dan cincin kawin adalah satu-satunya perhiasan yang dikenakannya. Gerri menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi neneknya itu, penampilan nenek itu begitu kejawen.

Nenek itu menyipitkan matanya melihat Gerri. Ia hampir tidak mengenali cucunya sendiri.

"Sapa?" tanya nenek Gerri dengan logat Jawa yang begitu kental.

"Gerri!" Gerri mengeraskan suaranya tepat di hadapan neneknya itu.

"Rungonku ora sudo!" Nenek Gerri balik mengeraskan suaranya. Ia terlihat marah dan tidak terima dengan Gerri yang mengiranya tuli.

"Ana perlu apa?" lanjut Nenek Gerri, bertanya.

"Aku akan tinggal dengan nenek mulai sekarang."

"Sapa simbahmu? Aku ora dhuwe putu!"

"Aku Gerri!" Gerri kembali melantangkan suaranya agar neneknya itu bisa mengingat dirinya. Nenek Gerri tampak melamun dan memandangi Gerri selama beberapa saat sampai akhirnya ia bisa mengenali cucunya sendiri.

"Oh, putuku. Ora dinyana-nyana kowe balik mrene." Nenek itu mengelus pucuk kepala Gerri lembut begitu mengingatnya. Ia pun mempersilakan Gerri masuk ke dalam rumahnya.

Nenek Gerri segera ke dapur untuk membuatkan Gerri teh, sementara Gerri sendiri tampak langsung duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari kayu itu. Ya, seluruh rumah neneknya terbuat dari kayu jati. Lalu Gerri melihat sebuah foto keluarga yang terpasang di dinding. Foto itu tampak berdebu. Pada foto yang ukurannya tak seberapa tersebut berisi silsilah keluarga besar neneknya, yakni keturunan keluarga Aruna. Gerri tersenyum miring melihatnya.

Nenek Gerri bernama Simbah Melati. Ia adalah adik dari Mbah We. Setelah menikah, Simbah Melati memilih untuk ikut tinggal bersama suaminya di luar desa. Simbah Melati hanya memiliki seorang anak yaitu ayah Gerri. Namun, tidak lama, suami Simbah Melati meninggal karena kecelakaan saat menebang kayu.

Alhasil Simbah Melati membesarkan ayah Gerri seorang diri sampai akhirnya ayah Gerri menikah dengan ibu Gerri yang keturunan Jerman. Waktu itu ibu Gerri adalah seorang imigran dari Jerman yang tidak ikut kembali ke negaranya setelah Belanda kalah perang. Mata ibu Gerri pun berwarna hijau murni dan dari situlah asal mula warna hijau pada mata Gerri berasal.

Ibu Gerri melahirkan dua anak yaitu Gerri dan Dayu. Masing-masing dinamai Narendra Gerritt untuk Gerri dan Narendra Yuwana untuk Dayu. Tapi, nahasnya ibu Gerri meninggal saat melahirkan Dayu. Karena itulah kebencian ayah Gerri muncul dan akhirnya menjual Dayu kepada Bu Dewi dan Pak Winarto.

Dayu yang memiliki kelebihan supranatural itu dianggap sebagai pembawa sial, sedangkan bagi Bu Dewi dan Pak Winarto sendiri malah dianggap sebagai penangkal hantu anak-anak yang mereka ambil organ dalamnya agar tidak mengganggu mereka. Mengetahui kenyataan itu, Gerri membunuh ayah dan pembantu wanitanya yang selama ini dikiranya adalah ibunya. Mereka berdua ternyata bersekongkol untuk membohongi Gerri.

Simbah Melati pun datang dengan membawa dua gelas teh di nampan. Setelah meletakkan nampan berisi teh itu di meja, Simbah Melati pun duduk di samping Gerri sambil celingak-celinguk.

"Bapakmu ning endi, Nar? Apa durung mulih?" ucap Simbah Melati tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari pintu depan yang masih terbuka lebar.

"Aku Gerri. Naraswara, itu ayahku. Dia sudah meninggal," jelas Gerri kepada neneknya yang sepertinya sudah mulai lupa lagi.

"Gerri, putuku. Banjur ning endi bapakmu, Le? Ning endi Simbah Kakungmu?" Simbah Melati menatap Gerri seakan ingin menangis.

"Mereka sudah meninggal, Mbah. Lupakanlah!" jelas Gerri lagi dengan nada lebih keras.

"Ya Gusti." Simbah Melati mengusap matanya yang mulai berair. Gerri menghela nafas panjang, kemudian tangannya meraih teh yang baru saja dibuatkan oleh neneknya. Ia yang sedari tadi kehausan kini lega karena kerongkongannya sudah teraliri air. Lalu ia kembali meletakkan gelas itu setelah meminum tehnya beberapa teguk.

Gerri memandang neneknya iba. Ia paham mengapa neneknya membuat dua gelas teh. Ia mengira bahwa Gerri adalah Naraswara, anaknya. Dulu Simbah Melati biasa membuat dua gelas teh untuk anak dan suaminya sehabis mereka pulang dari sawah. Dan ingatan itu terus terulang sampai sekarang.

Simbah Melati memiliki penyakit alzheimer yang membuatnya mudah lupa. Jika ia teringat suatu hal yang bahagia, maka ia akan terus tersenyum dan tertawa saat itu juga. Tapi, jika tiba-tiba ia teringat hal yang menyedihkan, terutama kematian anak dan suaminya, maka ia akan menangis tersedu-sedu. Lalu jika ingatannya hilang, maka ia akan bersikap biasa saja kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Simbah Melati juga hanya sebatas tahu anaknya telah meninggal tanpa mengerti apa sebabnya, karena itu ia tidak membenci Gerri.

"Mbah," panggil Gerri kepada neneknya pada suatu hari yang sedang menumbuk gabah. Simbah Melati pun menghentikan aktivitasnya ketika tahu ia dipanggil.

"Aku akan sekolah SMP di Jakarta," lanjut Gerri meminta ijin.

"Kowe sapa?"

"Aku-Rendra, Mbah. Narendra Yuwana," jawab Gerri kembali berbohong.

Simbah Melati iya-iya saja menanggapinya. Toh, ia juga tidak ingat apapun.

Setelah neneknya menyetujui Gerri untuk pergi ke luar kota, kemudian Gerri bergegas menyiapkan keberangkatannya ke sana. Di sekolah itulah ia kembali bertemu Riris. Kemudian saat kuliah, mereka bertemu Akas. Selama itu, Riris mengenali Gerri sebagai Rendra. Sementara Akas mengenali Gerri sebagai orang baru. Ia tidak ingat bahwa Gerri pernah menjadi temannya saat di panti dulu.

Gerri pun sama sekali tidak ingin mengungkap siapa dirinya yang sebenarnya. Baginya biarlah berjalan seperti itu saja. Beberapa tahun setelahnya, Simbah Melati tewas mengenaskan bersamaan dengan keturunan keluarga Aruna yang lain. Waktu itu hanya menyisakan dirinya, Dayu, Mbah We, dan Karin yang masih hidup.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang