Part 1 - Asing

685 8 0
                                    

"Ya ampun, Callista!" Jelita berujar nada tinggi. "Dari Kelas kamu ajak aku keluar ternyata gak tau mau ke mana?"

"Mau ke kantin. Cuma tutup, kan. Ya udah tebar-tebar pesona aja." jawab enteng Callista.

"Kembalikan waktu istirahat aku." tagih Jelita dalam candaan.

Callista tergelak. Keduanya tetap lanjut berjalan pelan. Callista menyodorkan layar ponsel, menampilkan berita internet kepada Jelita yang sedari tadi menyapu pandangan ke penjuru arah, membatin sudah sepi. Berita terjadi di Negara tetangga. Menyebarnya wabah virus corona, Pemerintah menyuruh rakyat agar jangan keluar rumah, beraktivitaslah di dalam rumah melalui sistem online.

"Yang paling dirugikan dari virus tadi para Buruh. Mungkin bakal ada pemecatan besar-besaran. Atau kalangan entah darimana yang cara kerja mereka gak mungkin pake cara online," jeda sesaat. "Terancam." pendapat Jelita.

"Bener." Callista setuju. "Gue gak terbayang kalau tu virus masuk ke Indo."

"Kalau sampe masuk, ngampus kita bakalan daring."

Layar ponsel yang tadi menampilkan berita internet, kini berubah ke tampilan Instagram. Callista berselancar di sana. Membahas musibah tidak ada habisnya atau lebih tepatnya lebih kasihan.

"Eh, Ta." panggil Jelita.

"Oy?" sahut Callista.

"Lo, sebagai orang yang bisa kerja karena nyokap, gimana sih perasaan, lo?"

"Orang dalam maksud lo, kan?" Callista mulai fokus, mengindahkan pandangan dari layar Instagramnya. "Gue gak bohong kalau cari kerja tanpa repot-repot emang epic, enak. Tapi, ada 2 sisi yang lo jalani. Lo harus kerja keras untuk orang yang menggaji lo dan lo harus kerja baik-baik biar gak pernah merasa gak enak sama orang dalam lo itu. Atau paling nggak, minimal kinerja lo gak menurun sama mengecewakan dan kalau bisa lebih produktif setiap harinya ... yang menyebalkan di sini, belum lagi ada masalah output yang harus lo lupain supaya kerjaan gak terganggu. Pokoknya banyak lagi deh." curahan Callista diakhiri gelengan.

"Jadi, kesimpulan dari semua yang lo rasakan?"

"Nggak deh. Gue gak berhak menyimpulkan. Gue takut jadi kayak kurang bersyukur. Tapi, gue bakal gantikan pake pertanyaan yang lo pasti paham. Dari pengalaman gue, menurut lo siapa yang bisa hidup tenang di bawah tekanan kayak tadi?"

"Yang bisa hidup tenang di bawah tekanan seperti itu?" Jelita tersenyum hambar. "Nggak ada. Kalau pun ada, mereka gak benar-benar hidup."

Callista menarik napas. "Tapi, nganggur juga gak seru. Pokoknya rasa syukur sama iman sih yang gak boleh dilupa."

"Selama ada kalimat, 'apa yang ditakdirkan untuk kita gak akan pernah tertukar', kita gak perlu cemas soal apapun'." pandangan Jelita menatap lekat ke depan. "Gue cuma bijak, untuk diterapkan, belum tau bisa atau nggak."

"Sama." Callista menaikkan pundak. "Semua orang juga gitu kayaknya."

Jelita bersedekap seraya menatap dedaunan di bawah akibat musim kemarau. Mengambil sehelai daun kering dari pohon kapas lantas menemukan sebuah pemikiran. "Kita bakalan jatuh. Siap atau nggak, angin gak mau tahu." whuus. Helai daun terbang, Jelita menghembusnya.

Topik obrolan mereka berganti hingga tahu-tahu telah berjalan melewati lapangan basket Kampus. Sekilas Jelita melihat Glenn, duduk sendirian di bangku panjang dengan kedua tangan bertumpu pada paha, mengamati mereka berdua.

Jelita tiba-tiba overthinking. Memperhatikan penampilan dirinya, merapikan blus, menyusuri rambut kepala mana tahu terdapat daun yang hinggap, melihat telapak sepatu memungkinkan telah menyeret tali plastik yang merekat akibat menginjak permen karet.

Jelita and Glenn  [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang