Part 14 - Nyaman kuadrat

373 3 0
                                    

Patung manusia lelaki bertelanjang dada tersebut tengah Jelita pakaikan jas biru tua baru saja. Setelahnya ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan distro. Kerapian telah menyeluruh, dari mulai tata letak pakaian, tiada patung kosong yang tak lain semuanya berpakaian dan lantai tak berdebu sebab ia sapu sehari dalam sekali.

"Jam berapa kamu selesai? Sekarang?" tanya Gilang, menjerit dari meja kasir, sedang menghitung pemasokan setiap harinya jika ada pembeli.

Jelita membalikkan tubuh seraya melihat jam dinding di depan meja kasir. "Belum kok. 10 menit lagi." Jelita menyahut.

"10 menit lagi." gumam Gilang dilihat Jelita artikulasinya.

"Kenapa, ya?" tanya Jelita.

"Ah? Hmm. Nggak.. Nggak apa kok." Gilang salah tingkah, menutupinya dengan sangat menunduk melihat buku.

"Oh.. Oke-oke." ujar Jelita seraya berjalan ke kursi. Kursi tanpa sandaran tempat pijakan kaki untuk memanjat mencapai pakaian di rak teratas. "Kamu asli orang sini?" ia basa-basi seraya menduduki kursi itu.

"Bukan. Rumahku di Bogor. Sengaja buka usaha di Jakarta karena pasar di sini lebih pesat kata bokap."

"Distro ini usaha satu-satunya?"

"Iyalah, dari 0." jawab Gilang seraya tertawa kecil.

"Berusaha dari 0 emang pilihan terbaik kok." Jelita tersenyum tipis.

Gilang menopang dagu mengamati Jelita. "Kamu dewasa, ya. Saya malu jadinya." ungkapnya.

"Nggak ah. Nggak." sanggah Jelita sambil geleng kepala. "Aku cuma bisa berbijak."

"Bijak itu perilaku kita. Terkadang gak jauh beda sama dewasa. Dewasa artinya pengalaman kita banyak di waktu yang belum saatnya kita kerjakan." pendapat Gilang. "Aku lihat kamu sama menurut teoriku. Dewasa."

"Aku gak begitu, Gilang. Aku juga nangis, cengeng." Jelita tertawa hambar. "Pahit deh efeknya."

"Cengeng bukan kelemahan."

"Yeah. Aku setuju." ujar Jelita. Sejenak mereka tanpa suara. Gilang mengindahkan bukunya dan Jelita duduk melihat kuku jemarinya seraya menunggu jam kerja habis.

"Kamu asli daerah sini?" tanya Gilang gantian, seraya menghitung lembaran uang rupiah.

"Iya. Tinggal di sini dari kecil." jawab jelita.

"Ngomong-ngomong tempat tinggal. Saya gak tau rumah kamu loh."

Jelita merasakan hawa-hawa tidak ia inginkan hendak terjadi. Hawa pengantaran. Ia bukan ditaraf kepercayaan diri tingkat tinggi. Ini benar telah terjadi selama ia kerja di sana, Gilang selalu ingin tahu rumah Jelita.

Jelita yang kini tinggal sendirian menjadi faktor utama ia membatasi dekat lelaki lagi apalagi untuk lelaki yang masuk pembaruan daftar kenal. Meskipun keinginan tahu atasan terhadap alamat rumahnya hal yang lumrah, tetapi tetap saja Jelita mencari aman. Seandainya atasan Jelita seorang perempuan, jelas ia tidak akan menghindar seperti ini.

"Terus?" Jelita bertanya sopan sambil tersenyum agar tak kentara pengelakannya.

"Saya harus tau. Sewaktu-waktu kamu gak masuk kerja terus gak bisa dihubungi. Mau kemana saya cari?" tanya Gilang lantas berdiri, pemasokan hari ini selesai ia hitung.

Jelita and Glenn  [Tamat]Where stories live. Discover now