Part 8 - Sefrekuensi

376 3 0
                                    

Sudah berbulan-bulan Ella tidak lagi hangout dengan Glenn, biasanya minimal dalam sebulan dua kali, bila.pun Glenn belum mengajak, Ella tanpa bergengsi akan maju selangkah. Demi tercapai kebahagiaan di benaknya. Ini yang ia lakukan dua hari lalu namun, Glenn belum menjawab.

Pagi ini, Ella menagih jawaban Glenn, di waktu bersamaan pula, ia diajak teman-temannya main, tanpa berpikir dua kali ia menolak lalu menunggu jawaban Glenn setelah mengirim chat kepada lelaki itu. Notifikasi pesan WhatsApp berbunyi, khusus dari Glenn, Ella sengaja memasang notifikasi khusus, ponsel di nakas segera ia raih, terukir senyum tipis bersama debaran jantung yang membuncah.

Mine
Gak jadi, ya, La
Gak bisa hari ini

Bug

Ella menaruh kasar ponsel di nakas. Wajah penuh yakinnya berubah seketika, meraih lembut bantal lalu membanting ke kasur, duduk di kasur dengan emosi yang meluap-luap. Di tengah otaknya yang diliputi kemarahan, otaknya masih sempat-sempat mencari tahu mengapa Glenn akhir-akhir ini berubah, menyelidiki satu-persatu tentang kabar Glenn yang diam-diam sering ia curi dari teman terdekat lelaki itu.

Tetapi kodratnya lelaki ialah, kebalikan dari perempuan, mereka jarang bahkan tidak ingin menceritakan hubungan asmaranya. Yang Ella dapati kabar selama ini hanyalah seadanya. Nama Jelita tak lepas dari kaitannya dengan Glenn. Ella yakin satu juta persen, Jelita pasti berhubungan dekat dengan lelaki yang ia tunggu kepastiannya setahun ini.

***

Hari libur tanggal merah jatuh di hari selasa. Selasa miliknya, Glenn mengajak Jelita pergi, tujuannya gadis itu yang menentukan, ke toko buku pilihannya. Mereka menyusuri lantai keramik licin yang apabila dipijak tapak berjenis kulit akan mudah terpeleset. Baru pertama itu ia ke toko buku. Pasalnya dari semua mantan atau gadis-gadis yang ia kencani, tidak ada satu pun yang menjadi toko buku tempat tujuan. Ia pun tidak pernah mengajukan keinginan karena ia bukan tipikal lelaki penyuka sastra.

Glenn tidak meraih satu pun buku, ia tidak mengerti soal buku. Oleh sebab itu, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sesekali hanya membaca judul pada sampul buku dalam hati.

"Sejak kapan kamu suka baca novel?" tanya Glenn.

Sebuah buku ditaruh Jelita ke tempat semula. "Sejak kelas 1 SMP."

"Gimana tu ceritanya?"

"Aku pinjam novel di perpustakaan Sekolah. Cuma 1 buku yang aku baca karena yang lainnya gak begitu suka. Masuk SMA, aku ke perpus, cuma 2 buku yang ku baca."

"Cuma sedikit beneran?"

"Karena sedikit cerita novel yang menarik menurutku. Aku mau suatu cerita yang kayak gini, kayak gitu misalnya. Tapi, gak ketemu. Lama-lama aku tulislah jalan cerita yang aku suka dan aku inginkan di suatu novel yang gak aku temuin."

"Keren, kamu."

"Biasa aja ah."

"Aku suka permainan kata."

"Quotes?"

"Quotes kurang indah."

Jelita berjalan pelan dan diikuti Glenn. "Jadi, maksud suka permainan kata?"

"Sajak sama puisi mungkin. Kayak gini, 'janji adalah hujan, menepati janji adalah awan'."

"Good, gak to the point." pujinya.

"Bagus gitu, biar setiap orang punya maknanya sendiri."

"Yeah. I'm agree with you, boy." ucap Jelita seraya menghentikan langkah, meraih buku.

Jelita and Glenn  [Tamat]Where stories live. Discover now