Bab 4 Gempar

459 54 2
                                    

Suara tukang sayur menjadi alarm alami bagi Wasana. Ya, suara itu jauh lebih efektif daripada suara alarm dari ponsel atau jam weker di samping tempat tidur, atau kokok ayam jantan, tetapi zaman sekarang agaknya susah menemukan ayam jantan yang berseliweran. Ayam-ayam itu sudah pasti digoreng dadakan.

Wasana merentangkan tangan, menguap sekali, mengucek mata, membersihkan kotoran di sudut mata. Matanya memicing melihat jam dinding. Percayalah ada dua alat penunjuk waktu di kamar.

"Ah, masih jam enam,” batinnya malas.

Dengan setengah sadar, Wasana berjalan sedikit gontai ke kamar mandi.

Saat membuka baju dan hendak mencari pengait bra, Wasana tidak menemukannya. Dan ketika beralih ke perut .... Tunggu, kok? Ada empat daging berbentuk kotak, bukannya lemak bergelambir seperti biasa?

Secepatnya wajah menunduk. Matanya membelalak. Dan ketika melihat cermin,

"AAA...!!!" Wasana tidak bisa menahan  jeritannya. Begitu juga saat derap langkah kaki mendekat, membuka pintu kamar mandi, kepala menyembul, rambut acak, jeritannya jadi ganda.

"Ada a ... AAA!!”

“AAA ...!!

Yuwa menampar wajah, sedang Wasana pingsan.

***
Tubuh Wasana mondar-mandir. Jemarinya mengelus dagu. Dia tatap lagi tubuh Yuwa yang duduk di ranjang, menunduk dalam.

“Kenapa bisa seperti ini?!” bentaknya.

“Aku sendiri enggak tahu, Mas, kenapa bisa jiwa kita tertukar.”

“Ah, bohong!”

“Beneran, Mas Yu, aku enggak tahu.” Wasana dalam tubuh Yuwa, menangkup wajah. Matanya berembun. Sedikit lagi akan jatuh ke bumi, jika saja Wasana tidak segera menghapusnya.

“Ah, aku enggak percaya.”

Perdebatan terus terjadi. Tidak ada yang tahu jawaban dari keajaiban ini. Oh, bukan keajaiban, tetapi malapetaka.

“Tunggu. Aku coba tidur aja.” Yuwa bergegas rebahan. Mencoba memejamkan mata. Sayangnya percuma. Dia tetap di tubuh Wasana. Saking geregetannya, Yuwa mengacak rambutnya kasar.

“Jangan gitu, Mas!” Nada bass Wasana mengomando. Seketika Yuwa meringkuk, takut.

“Nanti saja kita lanjut debat, sekarang kamu masak dan buatkan aku makanan,” perintah Yuwa. “Kenapa malah tertawa?! Tadi nangis, marah, sekarang tertawa.”

“Bukan begitu. Lucu saja, Mas. Aku melihat diriku dan mendengar suaraku sendiri tengah menyuruh Mas Yuyu. Kapan itu bisa terjadi, ya?” Wasana menggigit bibir bawahnya dan mulai berkhayal.

“Jangan mimpi! Sudah, jangan membuatku tampak menjijikan dengan melakukan itu!”

“Melakukan apa?” tanya Wasana dengan polosnya.

“Begini!” Yuwa meniru gaya Wasana, tetapi dengan kesal dan keras, jadilah dia kesakitan dan mengaduh.

“Makanya, Mas, jangan galak-galak.” Tawa sok cantik Wasana mengalun mengiringi.

“Jangan lakukan itu!”

“Lakukan apa lagi?” Serba salah. Mau bagaimana lagi? Memang itu sifat Wasana.

Yuwa sudah mau menjitak istrinya itu, tapi kalah cepat. Wasana sudah pergi ke dapur, memasak dengan gembira di sana. Sesekali bersenandung.

Yuwa keluar dari kamar, duduk bersila di atas karpet biru motif daun anggur. Dia bersedekap. Matanya menutup rapat. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dibaca, Wasana tidak bisa menangkap suara maupun mengartikan gerak bibir suaminya.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now