Bab 10

264 37 0
                                    

Mari berakting baik dulu, sebelum sifat liar menyembur sempurna, dan mengacaukan kedamaian dunia.

Wasana menunjuk bangku dengan sopan. “Silakan duduk. Mau di sini apa di dalam?”

“Di dalam saja. Enggak baik juga kita duduk di sini, takutnya jadi gosip orang yang lewat.” Raisa berdeham malu-malu, sok manis, ganjen, dan tidak berperi-kewanitaan. Berani sekali dia hendak merebut suami Wasana. Hati istri mana yang akan tabah menghadapi pelakor alias perebut laki orang?

“Baiklah. Jadi, ada perlu apa?” tanya Wasana begitu mereka sudah di dalam.

“Yang kemarin itu, Mas Yudha.”

Kurang asem. Sudah ada panggilan sayang ternyata.

Wasana memicing dan menjeling. Dia berkhayal kukunya memanjang persis cakar harimau betina dari Sumatra. Gigi taring meruncing tajam siap menerkam mangsa. Siap mengoyak siapa saja yang dibencinya termasuk Raisa, si ular betina.

Wasana tertawa licik. Dia masih berancang-ancang, mengintimidasi dan mengancam Raisa yang memberontak meminta dilepaskan dari cengkeraman. Sungguh amat sangat disayangkan, ketika Wasana baru membuka mulut, memperlihatkan taringnya, gambaran khayalan itu mendadak menghilang karena sebuah perkataan Raisa.

“Soal Mas Yudha yang mau menikahiku.” Lagi-lagi Raisa berkata dengan manja. Enek rasanya.

Kesal. Wasana menebah telapak kakinya yang terangkat ditopang kaki lainnya. Sikap pura-pura membersihkan debu, nyatanya agar Raisa merasa direndahkan.

“Dasar wanita buejat. Kukutuk kamu jadi bunga buangkai!” caci Wasana dengan suara tertahan dalam mulut. Geregetan parah.

“Apa, Mas Yudha? Mas Yudha ngomong apa? Raisa enggak denger soalnya.”

Bodoh amat.

“Ah, enggak.” Segera Wasana mengibas tangan. “Oh, iya. Mau minum apa? Racun?”

Raisa terheran-heran. “Maksudnya, Mas?” Kemudian tertawa. “Ah, Mas bisa aja bercandanya.”

Tepukan tangan pelan Raisa pada lengan Wasana, memantik bara api pada dada yang sudah panas. Bara api yang takkan padam sebelum Wasana berhasil melampiaskan amarahnya.

Wasana bangkit, mengitari sofa menuju meja besar di belakangnya. Lapak ini jauh lebih bagus dari rumahnya, pantas Yuwa sering memilih tidak pulang.

Sebelum Wasana tidak bisa mengendalikan diri, dia berniat mencari tahu sejak kapan Yuwa dengan Raisa berhubungan dan bagaimana mereka kenal.

Sembari sibuk memindahkan isi teh botolan ke dalam cangkir, Wasana bertanya, “Jadi, bagaimana kita kenal?” Pertanyaan tanpa kewaspadaan. Wasana menyesalinya. Sedikit.

“Kok, Mas Yudha ngomong gitu?”

Cepat Wasana membalas, “Ya, hanya penasaran. Semacam ingin tahu cerita dari sudut pandang yang berbeda.” Meniru kata-kata milik Adenia waktu dia tidak sengaja menguping pembicaraan temannya itu. Pembicaraan antara Adenia dengan Odenia mencari kebenaran cerita soal siapa pelaku pencurian uang di dompet Adelia. Masa mereka masih bermain bersama alias sama-sama belum menikah dan remaja.

Syukurlah Raisa tidak keberatan. Wasana bernapas lega. Dengan suka rela, Raisa memulai ceritanya.

“Kita dulu satu sekolah. SMK Bima Jaya. Dan aku primadonanya.”

Tanpa sadar Wasana mencebik keras, membuat Raisa berhenti berkata.

“Oh, maaf tadi ada bawang goreng di gigi depan. Tadinya Cuma mau membersihkan, eh, enggak sengaja malah mengeluarkan nada itu.” Pintar sekali Wasana mencari alasan. Otaknya di saat tersudut berubah pintar.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang