Bab 24

194 31 6
                                    

Selamat membaca, selamat bahagia. 😊
Votelah saat Online. Terima kasih.

🌟🌟🌟

Pikiran Wasana waswas saat melihat langit mulai menampakkan wajah kelabunya. Bayangan Yuwa kehujanan, membuat Wasana bergegas mencari suaminya itu. Yang ditakutkan adalah Yuwa akan sakit, terserang flu. Sebab tubuh yang ditempati suaminya bukanlah tubuh yang tahan air hujan. Tubuh itu rapuh, lemah.

Saat pencarian, Wasana membeli payung warna pelangi. Harap-harap juga bisa menangkal hujan seperti yang dikatakan ibunya ketika Wasana masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Ya, walaupun itu hanya cara ibu membelokkan keinginan Wasana membeli jas hujan.

Tak sampai sepuluh menit, Wasana menemukan Yuwa yang sudah terserang gejala flu. Wanita itu putuskan membawa Yuwa pulang.

“Aku belikan bubur sumsum, Mas.” Wasana meletakkan mangkok berisi bubur di meja. Agak ragu menanyakan mau disuapi apa tidak, jadilah dia taruh saja di sana. Akan tetapi, melihat Yuwa menggigil dan sering bersin-bersin menggerakkan hati Wasana. “Aku suapi, Mas.”

“Enggak. Aku bisa sendiri,” tolak Yuwa sembari mencoba duduk. Baru akan duduk, dia ambruk lagi.

“Sudah enggak apa-apa kusuapi. Baca doa dulu lalu buka mulut.”

Yuwa kali ini menurut tanpa debat. Mulutnya mengunyah pelan dan saat hendak menelan terlihat kesusahan.

Wasana menyodorkan segelas air gula hangat. “Sambil minum, Mas.”

Seruput sedikit, lalu Yuwa rebahan lagi.

“Aak lagi, Mas.“ Sendok telah diangkat Wasana ke dekat mulut Yuwa, tapi lelaki itu malah melengos. “Kenapa enggak mau? Ayo, Mas, harus makan. Kalau sudah habis, baru boleh minum obatnya, Mas.”

Yuwa memejamkan mata. Saat dikira suaminya itu tidur dan Wasana berniat membangunkan dengan telunjuk, ternyata Yuwa berbicara,

“Ceritakan sebuah cerita. Biasanya kamu, 'kan paling cerewet. Kenapa akhir-akhir ini malah jadi pendiam?”

Tidak ada kalimat yang membanggakan, malah hanya membuat sakit hati saja. Wasana mendesah jengkel. “Mas Yu, Mas Yu. Kapan Mas Yu mau memujiku? Sekali-kali bilang aku cantik kek? Atau manis? Atau ....”

“Tapi boong. Ogah. Kenyataan yang ada aja ngapain boong segala,” cetus Yuwa memotong kalimat Wasana.

Bibir ranum Wasana mengerucut. Pelampiasan pada sendok yang beradu dengan piring mengeluarkan suara ribut.

“Haduh, kalau kau terus melakukan itu mending taruh saja di atas meja. Aku mau istirahat. Oh, iya sebelumnya beri aku obat.”

“Mas itu baru makan sesendok kok malah minta obat. Ini pokoknya harus habis.” Pemaksaan itu berbuah manis. Yuwa akhirnya mampu memasukkan semua bubur itu ke dalam lambungnya. “Bagus. Sebentar aku ambil obat.”

“Aku tebak pasti paracetamol,” gumam Yuwa yang masih bisa didengar Wasana.

Dalam hati Wasana mengiakan. Obat dari segala obat ya Paracetamol. Kepercayaannya tidak bisa diganggu gugat. Coba baca kandungan dalam berbagai obat, pasti akan ada kata paracetamol. Ini menurut Wasana yang lulusan sekolah dasar. Luar binasa.

Setelah meminum alias menelan obat dengan dorongan air gula, Yuwa terlelap. Dalam keadaan damai itulah, Wasana memandang intens.

Wanita yang terbaring di depannya adalah tubuhnya. Wanita yang memiliki kulit 40% eksotis dengan rambut sedikit kemerahan menambah kekaguman Wasana.

Aku cantik juga, ya. Tapi, jika dibandingkan Raisa. Aku kalah telak.” Matanya berembun karena air mata. Mencoba tenangkan diri dengan menggembirakan hati, Wasana berucap, “Santai Was. Besok kamu beli skincare yang mahal, pasti Raisa kalah.” Tawanya sumbang menanggapi lelucon yang garing. Tidak kuat, Wasana memilih pergi dan tidur di ruang makan beralas tikar.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang