Bab 23

196 32 0
                                    

Holla akak-akak pembaca. Shima cuma mau bilang, karya ini boleh dibaca OFFLINE, tapi waktu mau Vote please pas ONLINE, ya. 😭🤧 Biar Shima dapat notifikasi. Kan jadi senang hatiku. 🥰

Terima kasih bagi yang bersedia. 😭🙏

🌟🌟🌟

“Di sini,” kata Yuwa menunjuk sebuah bangunan.

Wasana mendongak, menatap bangunan di hadapannya. Bukan karena tinggi berlantai-lantai, melainkan bangunannya yang jika ingin masuk mencari kain, harus melewati sepuluh anak tangga. Sedikit mirip rumah panggung, karena tangganya berbahan kayu jati yang kanan-kiri ada pegangannya.

Yuwa masuk. Sebenarnya, Yuwa pertama kali datang kemari. Tidak terlalu hafal maupun mengerti harga kain di sini. Namun, sebagai ahli kain, matanya sudah bekerja cepat memindai keseluruhan kain-kain yang tergantung dan terjajar. Sembari  berjalan, Yuwa juga sesekali berhenti pada suatu kain, merabanya, menentukan kualitas dan kuantitas.

Yuwa mencebik. “Kainnya lembut, tapi tembus pandang,” jelasnya bagai seorang dosen tata busana. “Meski berbahan jatuh, bagiku enggak akan cocok kalau dipakai ke pesta apalagi bertema out door. Ngerti Wa ....” Kalimatnya terpotong saat menoleh ke belakang. Ternyata istrinya hilang dari pandangan. Tadi Yuwa pikir Wasana mengikuti dari belakang, ternyata tidak.

Berbalik badan dan kembali menyusuri jalan yang tadi dilewati, Yuwa mencari sang istri. Badannya bertumpu pada ujung jari kaki agar mudah menemukan Wasana dikala kain menjadi penghalang. Sayangnya sulit.

“Ke mana Wasana pergi?” Kepala Yuwa celingukan. Sampai suara seorang pramuniaga terdengar dekat di belakang Yuwa.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”

Yuwa sontak kaget dan menoleh.

“Oalah, ternyata Wasana.“ Pramuniaga itu seketika santai.

Ternyata keajaiban dunia itu tidak melulu tentang bangunan bersejarah, melainkan sebuah pertemuan bisa juga dimasukkan  ke dalam keajaiban dunia versi Yuwa. Dan itu terjadi di depan mata. Salah satu teman Wasana dari tiga serangkai ada di sini dan tengah bekerja pula. Bisa saja Yuwa balik menyapa, tapi nahas dia lupa siapa nama orang di depannya. Adena kah? Adelia? Atau Adonia? Nama ketiganya begitu mirip dan seringnya banyak orang lupa. Untunglah ada tahi lalat sebagai pembeda. Yuwa mencoba mengingat. Adonia memiliki tahi lalat di ujung hidung—mantan kustomer gaun pengantin. Bukan. Berarti Adena, soalnya kalau Adelia jelas tidak mungkin selain tahi lalatnya tidak ada di ujung alis, wanita itu juga tidak mungkin meninggalkan usaha kateringnya. Jadi, besar kemungkinan wanita di depannya adalah Adena.

“Oh, hai Adena,” sapa Yuwa sok akrab. Dia mencoba kebiasaan Wasana yang menepuk lengan tatkala berjumpa teman-temannya.

“Mau cari apa, Was? Tumben kemari?”

“Beli kain.”

“Sama suami?”

Yuwa mengangguk dan tersenyum malu-malu. Merasa jijik dalam hati karena harus mengakui 'datang bersama suami',  padahal dialah si suami.

“Tumben.” Adena memicing, kelihatan curiga. “Udah enggak bertengkar lagi? Aku kira kalian akan bercerai? Kata Adonia, kalian berdua terlihat aneh sejak terakhir bertemu. Kalau enggak salah, waktu saudaraku itu mengirim bingkisan pernikahan karena kamu lupa membawa bingkisan itu pulang.” Wanita itu kemudian mencondongkan kepala dan berbisik, “Katanya begini, ‘Bu Was sama Pak Yu terlihat beda. Masa aku denger Bu Was nyebut Pak Yu istri? Kayak jiwa mereka tertuker gitu.’ Emang iya, ya?”

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now