Bab 12

208 36 2
                                    

"Dasar wanita Jahannam!" umpat Wasana dengan mengusap air mata. Matanya sudah sembap karena omelan para emak-emak, sekarang matanya lebih merah karena kecewa sekaligus marah terhadap Yuwa maupun Raisa.

"Dasar Yuyu Kangkang, suami menyebalkan. Dasar Rai gedhek enggak punya hati." Wasana terus saja mengolok-olok dua manusia yang membuatnya sakit hati.

Duduk di sofa ruang tamu, memeluk lutut, Wasana lelah. Tadinya dia akan membeli makanan, namun melihat matanya bengkak dia urung. Tadi saja waktu berjalan pulang dia pakai masker dan kacamata. Dan itu pun sudah dipandang aneh oleh manusia-manusia yang berpapasan di jalanan. Wasana jadi takut kalau dia dituduh teroris atau calon perampok karena penampilannya.

Menonton televisi mungkin menyenangkan. Ada sinetron baru yang tengah naik daun. Kalau tidak salah di saluran nomor empat.

Sinetron dimulai.

Wasana berdecak. "Baru muncul kok konfliknya sudah ruwet aja. Ciri sinetron banget. Sudah bisa ketebak pasti ruwet kayak benang ruwet."

Setelah lima belas menit penayangan, bulir-bulir air mata Wasana jatuh. "Asem. Dasar suami jahat! Bejat! Kurang trasi! Kutumbuk kau pakai cabe!" serunya dengan meremas dan menggigit kerah baju.

Ternyata sinetron itu menayangkan derita istri karena pelakor. Menyesak. Wasana tersentuh, sebab kehidupan sinetron seperti bercermin pada kehidupannya. Suami yang tidak setia, pelakor yang cantik, Istri yang tersakiti dan terdzolimi.

Tangannya meraba-raba mencari benda yang bisa dilempar. Ada asbak milik suami. Boleh juga buat dilempar, tetapi setelah dipikir, Wasana akan kehilangan satu-satunya benda elektronik yang bisa menayangkan sinetronnya. Belum lagi kecerewetan suaminya yang akan berakhir pertumpahan segelas air tawar.

Suara nyaring, cempreng, sumbang, tiba-tiba terdengar.

"Tubuhku!!"

Ternyata Yuwa, suaminya, berjalan tergesa menghampiri.

"Hoe, hoe, Warak. Jangan menangis. Kau membuat tubuhku terlihat jadi banci.

Wasana kira ada secuil harapan tentang Yuwa yang memedulikannya, ternyata dia salah. Yuwa hanya datang agar Wasana tidak mempermalukan tubuh milik suaminya. Menyedihkan.

Karena rasa kecewa, Wasana pergi dari sana menuju tempat teraman dan damai yaitu kamar. Tak lupa menggeser kunci agar Yuwa tidak bisa masuk. Kembali air mata membasahi pipi. Rekor terbaru dalam hidupnya menangis empat kali dalam sehari.

Ranjang dan selimut seakan melambai menjanjikan kenyamanan bagi Wasana yang tengah bersedih. Tanpa pikir panjang, ia benamkan tubuh dalam selimut bermotif daun anggur, pemberian ibu mertua waktu awal Wasana menetapi rumah ini.

Dalam temaramnya cahaya dalam selimut, Wasana mencoba mengingat awal mula pernikahan dengan Yuwa bisa terjadi.

"Wasana," panggil Pak Dika, ayah Wasana. Tepat di belakang.

Wasana bergeming. Matanya sayu menatap batu nisan yang dielusnya. Tidak mencoba beralih dna hanya terpaku pada batu. Batu penanda kalau ada seseorang yang dikubur di dalamnya.

"Ikut Ayah sekarang." Perintah Ayah laksana komandan tertinggi yang tak bisa diganggu gugat. Tak tahu kah ayahnya kalau Wasana tengah berkabung?

Ah, iya. Mana ayahnya punya hati untuk bisa mengetahui perasaan anaknya. Pun ayahnya datang waktu pemakaman itu karena terpaksa dan permohonan terakhir dari sang Ibu.

"Kita tak punya waktu Wasana."

"Memang kita mau ke mana, Yah?" Ucapan Wasana terdengar lemah, tak bertenaga. "Aku masih ingin bersama ibu."

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now