Bab 17

202 32 17
                                    

“Halah! Ke mana perginya Warak?” Yuwa sudah kehabisan semangat. Tadi dia pergi ke rumah lama Wasana, ternyata istrinya tidak ada di sana. Begitu juga saat mengunjungi rumah Ayah mertua. Tidak ada yang menyambutnya. Entah memang karena tidak ada orang di rumah atau memang niat bersembunyi? Ya, sebab tubuh Wasana yang datang, meski di dalam adalah jiwa Yuwa. Sudahlah. Yang jelas, Wasana tidak ada di sini.

Meski terlihat tidak acuh terhadap Wasana, setidaknya Yuwa tahu kalau Ayah Mertua memperlakukan Wasana dengan tidak baik. Dilihat dari interaksi yang ditampakkan Wasana yaitu takut, gugup, dan cenderung ingin menghindar. Jelas jika ada sesuatu yang tidak beres. Istilah lainnya trauma.

Tebersit suatu pemikiran tentang keberadaan Wasana seakan ada yang berbisik di dekat telinga Yuwa.

“Masa iya ke kuburan?” Yuwa merinding disko dadakan. “Wah, keplek Wasana. Ngajak uka-uka dia.”

Meski enggan, Yuwa tetap saja pergi ke kuburan. Tempat yang membuat bulu kuduknya meriang dan demam. Mudah-mudahan dia tidak masuk rumah sakit setelah ini.

Seseorang tetiba menyapa tepat ketika Yuwa berdiri tak jauh dari gapura pemakaman.

“Lo, Dek?! Kok di sini?“

Yuwa kaget bukan main. Dia nyaris lari kocar-kacir perkara mengira itu suara demit. Untung bukan.

Bapak-bapak berpakaian hansip, melanjutkan pertanyaannya. “Sudah ketemu suaminya?”

Yuwa linglung. “Su-suami?” Dia memikirkan hal lain. Maksud suami dalam pikiran Yuwa semacam Genderu, Poc, Kol Jo, Tuy, dan bangsa jin lainnya. Semakin tidak karuan reaksi bulu kuduk seolah mau copot saking tegangnya berdiri.

“Iya, tadi ada yang datang kemari cari, Mbaknya. Mbaknya, 'kan, biasa datang kemari malam-malam?“

Wasana. Nama itu muncul bagai oasis. Semangat Yuwa melompat naik. “Iya itu suami saya.“ Agak jijik ternyata mengatakan suami, sementara dirinyalah pemilik status itu. “Di mana dia sekarang, Pak?”

“Tadi ada di sini. Enggak tahu sekarang. Eh, jadi belum ketemu, ya?”

“Iya, Pak, belum.“ Yuwa murung. Misinya gagal lagi tuk langsung menemukan Wasana. Tapi kabar baiknya Yuwa tidak perlu masuk TPU malam-malam. Ngeri.

“Coba ditelpon, Mbak.“

Seandainya Wasana mau mengangkat telepon, sudah sedari tadi Yuwa menemukannya. Masalahnya ialah Wasana sedang mode tidak peduli alias ngambek.

Akhirnya Yuwa hanya memberi senyum dan pamit. “Ehmm... Kalau begitu saya mau cari suami saya lagi. Terima kasih, ya, Pak. Permisi.”

Yuwa berjalan tanpa arah. Bingung harus ke mana mencari. Tapi, dia terpaku saat tidak sengaja melihat sosok lelaki berjalan ke sebuah gubuk di sawah, tak jauh dari tempat Yuwa berdiri. Dilihat dari penampilan, itu pasti dirinya—maksudnya tubuh Yuwa yang dikendalikan Wasana.

“AKHIRNYA KETEMU JUGA!” seru Yuwa, begitu berhasil mendekat dan memastikan benar bahwa itu adalah Wasana.

Wasana tampak terkejut akan kedatangan Yuwa. Mereka bercakap-cakap sebentar, sebelum satu-dua kunang-kunang datang menyapa.

“Ada kunang-kunang.” Yuwa fokus pada kelip-kelip hijau dari hewan-hewan itu.

Sedang menikmati fenomena, tahu-tahu Wasana bertanya, “Eh, Mas Yu. Katanya kunang-kunang itu kukunya setan, bener enggak, sih?”

Darah tinggi Yuwa langsung turun drastis menjadi darah rendah. Wajahnya memucat se-pucat kertas HVS. Bisa-bisanya Wasana menyebut kata tabu di malam hari.

Padahal tadi Yuwa mau bercerita kalau kunang-kunang mengingatkannya pada Ayah Ikal, karena waktu kecil pernah diajak pergi ke lapangan bola dan mendapati kunang-kunang berterbangan dengan jumlah banyak. Dan waktu itu Yuwa merasa berdiri di antara bintang-bintang. Mungkin ini yang mencetuskan sebuah kalimat, “Jangan takut jatuh mengejar cita-cita, setidaknya kalaupun jatuh, kamu akan jatuh di antar bintang-bintang.” Lucu sekali pemahaman itu. Tapi, sebenarnya kalimat itu sebagai penyemangat para pejuang agar tidak mudah menyerah akan hidup.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang