Bab 20

227 31 10
                                    

Holla akak-akak pembaca. Shima cuma mau bilang, karya ini boleh dibaca OFFLINE, tapi waktu mau Vote please pas ONLINE, ya. 😭🤧 Biar Shima dapat notifikasi. Kan jadi senang hatiku. 🥰

Terima kasih bagi yang bersedia. 😭🙏

🌟🌟🌟


“Cuci.” Yuwa menyodorkan buntalan kantong plastik hitam begitu saja tepat ke muka Wasana.

“Aduh, Mas. Bau.” Hampir saja mengenai kulit wajah, kalau saja Wasana tidak bergerak menghindar.

Memang sungguh terlalu. Yuwa tidak pernah peduli dengan dampak kelakuannya. Yang penting dirinya tetaplah raja.

“Pokoknya segera cuci. Menjijikkan.”

Meskipun Wasana yang kini berada di tubuh lelaki, tetap saja dia yang harus mencuci. Walau begitu, dia kerjakan juga, tapi tentunya nanti-nanti.

“Itu baju pesing dan baju pinjaman. Besok, yang baju pinjaman, kembalikan ke orangnya,” ucap Yuwa sembari berbalik hendak pergi meninggalkan Wasana yang tengah duduk santai di sofa.

“Ya Mas sendirilah. Masa aku lagi, aku lagi.”

“Yang kemarin suruh pinjam siapa?”

Mendengar penuturan yang tidak menyenangkan, menyulut kemarahan Wasana. Dia bangkit berdiri, menatap tajam tepat ke mata Yuwa yang kini tubuhnya lebih pendek.

“Itu, 'kan, demi, Mas Yu. Emang Mas Yu mau pakai baju bau pesing?”

“Lah, salah sendiri kamu enggak mau minjemin aku kemeja.”

“Ha?! Terus aku harus telanjang dada gitu? Enggak, ah, malu.”

“Kamu pakai kaos dalam, Wasana. Kenapa harus malu?”

Bagai kucing dan anjing, keduanya tampak tidak bisa akur jika bersama. Selalu saja ada perselisihan dan pertengkaran.

“Ya malulah. Lagian ngapain pakai rok yang ribet berumbai? 'Kan sudah Wasana bilang pakai celana aja. Mas Yuyu tetep ngeyel.”

Entah sampai kapan mereka berdua bisa akur. Yang jelas Wasana maupun Yuwa tidak ada yang mau mengalah.

Yuwa menarik lengan bajunya sampai siku. Kemudian berkacak pinggang seperti menantang. “Ngapain beli kalau enggak boleh dipakai?”

“Aku enggak beli, Mas. Itu pemberian Nyonya Dara.”

Itu memang pemberian Nyonya Dara waktu Wasana diajak jalan-jalan ke Mall menemani Nyonya belanja baju. Alasannya, Wasana sendiri tidak tahu. Dia hanya menerima apa yang diberi. Karena baginya haram menolak rezeki, takutnya kalau menolak bisa berimbas pada rezeki lain.

“Wah, wah! Jadi sekarang kamu sering diberi baju oleh Nyonyamu itu? Bagus.” Yuwa bertepuk tangan mengejek.

Sangkaan itu membuat nyeri dada Wasana. Bukan maksud terus-terusan menerima, tetapi sudah dibilang tidak baik menolak rezeki.

“Aku enggak pernah minta, Mas Yuyu. Aku menerima apa yang diberi. Gitu aja, kok. Ya, Mas Yuyu, enggak pernah memberiku baju. Boro-boro memberi atau membeli. Membuatkanku baju aja enggak pernah. Coba, Mas, inget enggak? Waktu Bu Yar minta Mas buatkan aku baju sepasang dengan Mas Yuyu, jawaban Mas Yu apa? Sibuk!”

“Si-siapa yang enggak pernah membuatkan baju untukmu?”

“Lah, mana buktinya kalau begitu? Yang kutemukan malah ....” Wasana tidak sanggup meneruskan kalimat. Karena kalimat selanjutnya adalah gaun untuk Raisa. Dada Wasana kembali sesak. Matanya sudah mulai panas, tapi sekuat tenaga dia tahan dan mencoba menepis air mata yang hampir keluar.

Yuwa sendiri mendadak diam. Mengunci mulut serapat-rapatnya. Tidak bisa mengoceh panjang kali lebar lagi. Setidaknya Wasana lega jika dengan berkata seperti ini, ada sedikit unek-unek yang berhasil diutarakan. Dia tidak merasa bersalah. Toh, yang dibicarakan Wasana adalah fakta. Namun, ternyata dugaan mengenai Yuwa yang akan diam dan tidak bersuara lagi itu dugaan yang salah.

Yuwa berkomentar setelah beberapa saat yang lalu diam. “Lagi pula kenapa enggak menolak aja pemberian majikanmu itu? Dan kenapa juga Nyonyamu itu ngebet banget menyuruhmu bercerai denganku? Oh, ataukah sebenarnya kamu pakai guna-guna agar Nyonyamu itu klepek-klepek sama kamu?”

Sontak Wasana terkejut dengan pengakuan Yuwa. Di lain sisi, dia kecewa dengan Yuwa yang lagi-lagi seenaknya menuduh tanpa perlu bersusah payah mencari kebenaran. Di sisi satunya, Wasana juga kecewa pada Nyonya yang ternyata tidak menyerah dan bertindak lagi agar rumah tangga Wasana dan Yuwa retak kalau perlu hancur.

Dengan mengembuskan napas lelah dan mengusap wajah gusar, Wasana terperenyak. Terlalu tidak kuat kaki berdiri tegap. Kedua siku tangannya sudah bertumpu pada lutut. Sedang telapak tangan saling menggenggam dan menopang kepala yang terasa berat sekali.

Kenapa dari pakaian kotor bisa merembet ke masalah yang rumit?

“Mas Yu. Dengarkan aku,” ucap Wasana setengah serak menahan isak. “Aku enggak pernah sekalipun memakai guna-guna, dukun, atau ilmu hitam seperti katamu. Aku mendapat empati karena aku memberikan simpati.”

Yuwa mematung sejenak dengan mengerjap, kemudian duduk perlahan dekat istrinya. Sangat pelan sampai tak terdengar gesekan kecuali busa sofa yang melesak.

“Maaf,” kata Yuwa. “Aku sudah keterlaluan.”

Suara yang ditangkap Wasana adalah suara Yuwa yang tulus tidak seperti biasanya. Dan itu justru membuat Wasana tidak bisa menahan pedihnya. Dia menangis tanpa suara. Efeknya, dada Wasana sakit seperti ditekan dengan luar biasa. Punggung bergetar hebat, begitu juga bibir Wasana yang tidak mampu menutup sempurna, saking gemetarnya.

Saat sesuatu yang hangat menyelimuti Wasana, wanita itu terlonjak ringan. Seumur hidup pernikahan, baru kali ini Yuwa rela dan mau memeluk Wasana.

Hati Wasana luluh seketika. Perlakuan seperti inilah yang diimpikan Wasana sejak pertama kali menikah. Ingin rasanya Wasana membalas pelukan ini, sayangnya ada sisi di dalam hati yang terdalam tentang keraguan, kebencian, dan sakit hati.

“Mas Yu, aku ingin istirahat. Bisa lepaskan sekarang?” Begitu kalimat itu meluncur dari bibir Wasana, pelukan itu terlepas. Kali ini tidak ada sesal. Hanya ada keinginan keras pergi jauh dari Yuwa.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Yuwa, mengurungkan gerak Wasana yang mau melayangkan langkah.

Sebagai jawaban, Wasana hanya mengangguk.

“Kenapa Bu Dara begitu ingin menjadikanmu menantu? Oh, maaf. Jika kamu enggak ingin ....”

Wasana menggeleng, tanda kalau dia tidak keberatan. “Aku dulu pernah mendonorkan darah untuk beliau. Waktu itu aku tengah membeli keperluan kita di pasar. Sendirian.” Wasana sempatkan mengusap bekas air matanya. “Lalu aku menjadi saksi waktu Bu Dara mengalami kecelakaan tabrak lari. Aku enggak tahu motif pelaku. Yang jelas kalau dibilang tidak sengaja, itu tidak mungkin. Mengingat aku melihat mobil hitam si pelaku sudah ada dan mesinnya hidup, seolah menunggu momen. Dan waktu Nyonya baru keluar dari pasar, beliau langsung diserempet. Beliau terpental. Jatuh terguling-guling. Semua yang menyaksikan histeris tanpa mau menolong. Aku yang bergerak duluan. Mencari taksi dan membawa beliau ke rumah sakit terdekat.”

Yuwa mendengarkan dengan seksama. Tidak berniat menyela.

“Di rumah sakit beliau dibawa ke UGD. Dan ternyata beliau terlalu banyak mengeluarkan darah, sedangkan rumah sakit waktu itu kehabisan stok darah AB. Terus karena kebetulan memiliki golongan darah yang sama, aku mendonorkannya. Syukurlah beliau selamat. Itu sebabnya beliau menyayangiku. Soal beliau tahu tentang keadaan rumah tangga kita, maaf aku enggak tahu soal itu. Nyonya selalu menutupinya.”

Yuwa termenung sejenak. “Lalu,” Ada jeda seakan ragu. “Apa yang membuatmu bertahan dengan pernikahan ini?”

Wasana menatap lekat pada bola mata Yuwa. Yuwa yang malah berkedip cepat. Aneh menurut Wasana.

“Karena ....“

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang