Bab 14

181 32 0
                                    

Jalan terbaik menghindari kecerewetan Yuwa yang setara dengan cerewetnya Mak-mak menawar sandal adalah dengan melakukan langkah seribu, mumpung suaminya itu masih sibuk dalam kamar mandi.

Wasana cekikikan saat sudah agak jauh dari rumah. Dia menertawakan sikapnya yang sama dengan anak remaja waktu melarikan diri takut ketahuan bapaknya.

“Aduh, perutku.”

Kram dirasa. Wasana mengelus perutnya. Ada rasa aneh waktu dia melakukannya.

“Mas, Mas. Kapan aku bisa mengelus perutmu dengan tanganku? Apakah akan terasa sama seperti yang kurasakan sekarang?” Pipinya memerah tatkala membayangkan itu terjadi. Sejak pertukaran jiwa ini, Wasana tidak sekalipun membuka mata waktu mandi dan berganti pakaian. Matanya rapat menutup seakan ada yang mengomando agar dia tidak menyalahi batas. Walau begitu, secara naluri tangannya yang nakal.

“Ngapain, Nak?” tanya seseorang yang berada di belakang Wasana.

Sontak Wasana membalik badan, matanya membuka lebar. “Ayah?”

Ternyata di depannya ada Pak Dika. Sepersekian detik selanjutnya Wasana baru tersadar dan langsung mencium tangan ayahnya.

“Tumben, Yah, ada apa?”

Pak Dika tersenyum. “Justru Ayah yang mau tanya kamu ada apa, kok, enggak seperti biasanya?”

Wasana lupa. Tabiat Yuwa adalah sedikit reaksi, lebih banyak apatis. Kalau diingat-ingat, Yuwa pasti hanya akan mencium tangan mertua setelahnya hengkang. Tidak pernah sekalipun basa-basi atau bercakap-cakap dengan Ayahnya. Dan keadaan itu juga bertambah parah, sejak kepergian Ayah Mertua.

Dulu, Wasana pikir yang akan meninggal dunia adalah Ibu mertua dilihat dari berat penyakitnya waktu itu. Siapa sangka, penyakit diabetes lebih berbahaya dari pada kanker. Dan Ayah Mertua meninggal karenanya.

Hanya sedikit waktu bagi Wasana mengenal Ayah Ikal. Meski begitu, Wasana yakin Ayah Ikal adalah orang baik. Dibandingkan Ayah Dika, Ayah Ikal adalah orang setia. Pernah suatu waktu, Wasana iseng bertanya tentang kunci kebahagiaan berumah tangga. Dan dengan santainya, beliau menjawab, “Ada tiga kunci; setia, percaya, dan bahagia.”

Baiklah, Wasana mengerti tentang dua kunci pertama, tetapi bagaimana dengan kunci terakhir?

Beruntung tanpa perlu bertanya lagi, Pak Ikal menjelaskan. Mungkin beliau tahu kalau Wasana kurang paham karena ada kerutan di kening menantunya itu.

“Kunci pertama setia. Yang dinamakan pasangan tentu terdiri dari dua orang, bukan tiga, bukan empat. Hanya dua.” Pak Ikal menunjukkan dua jarinya. “Menambah satu jari, maka akan retak sebuah hubungan karena harus terbagi.”

“Jadi menurut Ayah poligami itu haram?”

Pak Ikal menggeleng lengkap senyum yang mengembang. “Beda lagi, Wasana. Kalau ada orang bisa dan mampu, enggak masalah. Namun, kebanyakan manusia amat sangat enggak mungkin untuk bisa adil. Dan Ayahmu ini, termasuk dalam jajaran lelaki yang sulit untuk adil. Lagi pula cukup satu istri agar enggak banyak beli emas.”

Wasana dan Ayah Ikal tergelak. Lelucon sederhana bagi keduanya.

“Kedua percaya, Wasana,” lanjut Ayah Ikal selepas menetralkan tawa. “Sebenarnya percaya itu masuk ke semua aspek kehidupan. Bayangkan jika kata percaya enggak ada dalam diri, bisa dipastikan orang itu akan hidup sendiri karena enggak ada yang percaya, 'kan?”

Wasana manggut-manggut, amat paham.

“Terakhir bahagia. Bagaimana tercipta bahagia kalau kata bahagia enggak disematkan di sana? Bahagia di sini adalah dari kedua pihak. Istri maupun suami, sama-sama bekerja sama membuat pasangannya bahagia. Caranya berbeda-beda. Ada yang hanya sekadar memberi perhatian, maka sudah bahagia. Ada juga yang butuh pembuktian. Dan banyak yang butuh pengorbanan. Terkadang dan seringnya mesti menurunkan ego. Lebih baiknya lagi, membuang ego.”

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now