Bab 18

185 37 14
                                    

Holla akak-akak pembaca. Shima cuma mau bilang, karya ini boleh dibaca OFFLINE, tapi waktu mau Vote please pas ONLINE, ya. 😭🤧 Biar Shima dapat notifikasi. Kan jadi senang hatiku. 🥰

Terima kasih bagi yang bersedia. 😭🙏

🌟🌟🌟

Jantung bertalu-talu bagai kentongan yang digebuk warga kalau ada maling. Kaki bergerak gelisah seakan ada semut di telapak kaki. Wasana berulang kali gigit bibir bawah sembari meremas tangan yang sudah mendingin sejak Yuwa mengatakan, “Ayo berangkat!”

“Mas, aku takut,” bisik Wasana getir. “Apa enggak bisa gitu, enggak usah dateng? Aku bener-bener takut.” Wasana mengeluarkan jurus merengek layaknya anak kecil.

Andai saja jiwa keduanya kembali seperti semula, mungkin saja Wasana tidak akan setakut ini. Dia sudah membayangkan kalau-kalau bertemu dan berkumpul dengan lelaki alias teman-teman Yuwa, pasti tidak nyaman sekali.

Yuwa menanggapinya dengan malas. “Demi keamanan dan ketentraman sembako kita. Juga demi martabat dan harkat jiwaku. Kita mesti berangkat ke sana, Warak.”

“Mas kebalik. Harusnya harkat dan martabat.” Sempat-sempatnya Wasana meralat ucapan Yuwa. Lupa apa, kalau Yuwa bisa berubah jadi mengerikan hanya dengan tatapan ganasnya.

Untung Yuwa sepertinya tidak dengar. Dia lebih sibuk dengan rok yang belibet. “Kenapa juga aku harus pakai rok ini? Harusnya pakai celana. Hadeh!”

“Lah, Mas sendiri yang pilih itu.”

Wasana jelas sudah berulang kali menyatakan pendapat agar Yuwa memakai celana model palazo. Selain leluasa bergerak, model celana itu lebar seperti rok. Akan tetapi, Yuwa bersikeras memakai rok yang panjangnya selutut berumbai-rumbai. Katanya biar tubuh Wasana bisa dibedakan dari orang gila yang biasa nongkrong di perempatan.

“Aduh, Mas,” keluh Wasana. “Ini dasi, kok, ketat amat sampai aku enggak bisa napas. Longgarin dikit, ya?” Mencoba menawar, malah diberi pelototan. Beringsut sudah nyali Wasana.

Dipikir-pikir ini acara biasa bukan acara formal yang harus memakai jas lengkap dasi, lalu kenapa Yuwa menyiksa Wasana tuk memakainya?Sungguh sulit mengerti arah pemikiran Yuwa.

“Hadeh, paling juga gara-gara gengsi,” cibir Wasana tatkala memikirkan alasan di balik ini semua.

Tiba di tempat pertemuan, Wasana dan Yuwa langsung dipisahkan. Yuwa diseret oleh geng ibu-ibu, sementara Wasana digeret oleh geng bapak-bapak.

Wasana malu karena dikelilingi tiga laki-laki. Dari kiri Wasana ada Dito, kemudian Jojo, dan terakhir Rano. Dan arah pembicaraan ketiganya tidak jauh dari pertandingan bola yang sama sekali tidak dimengerti oleh wanita itu.

Lelaki berkumis alias Bayu si pemilik rumah, datang dari arah belakang dan langsung bertanya, “Juventus kapan main? Aku lupa beli posternya, oe. Nantilah aku beli.”

“Di internet, 'kan, ada, Bay? Ngapain beli?” timpal Dito. Tahi lalat di hidung pria itu membuat Wasana gemas ingin menekannya.

“Wah, enggak enak. Aku enggak bisa langsung coret siapa yang kalah nanti.”

“Katrok banget, Bung Bay. Tinggal print, cetak segede-gedenya.” Ini lain lagi. Jojo. Tadi Wasana pikir kepala Jojo adalah bola ramal saking kinclongnya.

“Eh, kamu yang katrok. Ngapain mempersulit hidup kalau tinggal keluarin uang sepuluh ribu, dapat tiga lembar.”

Semua tergelak, kecuali Wasana. Dia tidak terlalu berminat mengenai tendang, giring, rebut bola, dan gol. Terlalu membosankan. Mending nonton sinetron. Ngakak bisa, sedih bisa, marah-marah bisa.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now