Bab 28

271 33 0
                                    

VOTE lah saat ONLINE
Terima kasih 😊❤️
🌟🌟🌟

Mentari di atas langit mulai tertutup gerombolan awan domba kelabu. Suara geledek bergemuruh. Masih jauh. Namun, tidak bisa disepelehkan. Kilat biasanya datang lebih cepat.

Wasana putuskan berdiri dan pergi ke teras rumah seseorang. Belum ada niat ke lapak. Lagi pula rintik hujan yang bentuknya seperti benang transparant, tidak mudah ditembus jika tak ingin kebasahan.

Saat tangan menyugar rambut basah, Wasana melihat dirinya dari pantulan kaca jendela. Dia tersenyum, mengagumi wajah Yuwa suaminya. Akan tetapi, senyumnya hilang ketika tangan beralih ke hidung.

“Bau!” ceplosnya.

Wasana lupa sudah beberapa hari ini tidak keramas. Sudah terhitung tiga hari. Dia terlalu ingin cepat menyelesaikan kegiatan mandi tanpa peduli bersih atau tidak. Tahulah, agar tidak khilaf mata yang berujung meraba-raba. Bahaya. Meski tidak dosa.

Mendadak rasa gatal menyerang, seolah ada pasukan kutu yang berjalan-jalan dalam rimbunan rambut kecoklatan milik suaminya ini. Tangan Wasana sibuk menggaruk. Saking keenakan sampai Wasana tidak menyadari ada seseorang yang baru keluar dari dalam rumah.

“Loh! Kamu?”

Sapaan itu membuat Wasana menoleh cepat. Dan karenanya, kini leher Wasana sakit. Dia mengadu.

“Eh, kenapa?” Orang itu mengulurkan tangan, hendak membantu.

Sambil memegangi leher, Wasana menyapa, “Hallo, Kakek. Kok, bisa ada di sini?”

Kakek tersenyum. Wajah keriputnya semakin jelas. Rambutnya juga sudah memutih semua. Mungkin tinggal beberapa helai yang masih hitam, tersembunyi di balik warna dominan.

“Ini rumah cucu, Kakek. Mau masuk?”

Tidak baik menolak, Wasana mengangguk, mengiakan.

“Duduklah, Kakek buatkan minum.”

“Enggak perlu, Kek. Takut ngerepotin.”

“Hujan-hujan begini air hangat bercampur gula dan kopi adalah minuman surga. Jangan menolak. Lagi pula cuma sebentar.”

“Tapi, maaf, Kek. Aku enggak suka ko-pi.” Ditutup dengan tawa sungkan Wasana.

“Oalah. Kalau teh hangat?”

Langsung Wasana melebarkan bibir sebagai jawab.

Sekembalinya Kakek beserta dua gelas dengan isi berbeda, Wasana membuka percakapan.

“Kek, aku boleh tanya?” ucap Wasana seraya menyeruput teh hangat aroma melati. Enak, nikmat. Kehangatannya mengalir dari mulut, tenggorokan, dada, terakhir perut. Sensasi manis tertinggal di lidah. Rasanya lega.

“Silakan.” Begitu pun Kakek. Bahkan tanpa meminum, Wasana dapat merasakan kalau kopi kakek pahit dan manis. Uap yang mengandung aroma menjelaskan semua.

“Kata Kakek ... eh tunggu.” Wasana menghentikan kalimat. “Apa ada orang lain di sini?” Harus hati-hati. Takut kalau masalah yang akan dibicarakan diketahui orang lain.

“Oh, enggak ada. Kebetulan cucu sama Neneknya sedang keluar membeli rujak kikil. Biasa, sepertinya istriku itu ngidam.” Beliau tergelak, dan lelucon itu juga sukses membuat Wasana ikut tergelitik.

Selepas tawa reda, Wasana kembali serius. “Apa benar kutukan ini, maksud Wasana, keajaiban dari jamu Kakek hanya bisa dihilangkan dengan cara menemukan cinta sejati? Memang enggak ada yang lain?”

“Jawaban Kakek tetap sama,” kata Kakek tanpa ragu. “Enggak ada. Kalau kalian enggak menemukan cinta sejati, maka selama itu pula kalian tetap dalam keadaan yang seperti ini.”

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now