Bab 13

189 33 0
                                    

Semalaman Yuwa harus berjuang dengan perut keroncongan. Dia terlalu trauma jika harus makan dan berujung perut mulas. Sudah kepayahan dengan bolak-balik toilet lagi. Malas akhirnya. Tidur, istirahat pilihan utama.

“Aku buatkan sarapan bubur, Mas,” kata Wasana begitu masuk kamar. Di tangannya ada mangkok yang mengepul. Kepulannya masih banyak, tanda kalau isinya baru dipindahkan dari panci.

“Bubur apa? Jangan bilang hanya bubur nasi dicampur gula merah.” Bubur buatan Wasana kalau tidak bubur bayi, ya, bubur nasi campur gula merah. Mana ada bubur ayam? Lebih-lebih bubur kacang hijau. Mustahil.

Seringai Wasana menjawab pertanyaan Yuwa, yang berarti benar. Mau tidak mau dengan keterpaksaan tingkat menara, Yuwa melahap dengan cepat. Pikirnya, yang penting kenyang dan tidak kelaparan.

“Oh, iya.”

Ucapan Yuwa membuat Wasana menatapnya. Dan mimik muka yang tersaji, ya ,wajah kesal Yuwa.

“Sejak kapan kamu bekerja di belakangku?” tanya Yuwa. Pertanyaan ini sudah dipendam olehnya sejak kemarin.

“Baru dua minggu.”

Lancar sekali jawaban Wasana bagai daun yang hanyut. Tiada beban. Sepertinya Wasana sudah tidak terlalu takut dengan Yuwa. Pasti ini berhubungan dengan pertukaran jiwa keduanya, jadi keberaniannya meningkat.

“Tanpa izin berani sekali!”

“Siapa yang enggak izin? Aku sudah izin, Mas. Masnya aja yang enggak denger.”

“Kapan?”

“Ya, ya .... ya, waktu Mas tidurlah.”

Mendengar itu Yuwa melotot. “Itu bukan minta izin namanya, Warak!” Bibirnya mencibir tiada henti.

Kebiasaan istrinya meminta izin waktu Yuwa tidur adalah hal yang membuat Yuwa mendongkol. Memangnya kapan Yuwa melarang? Oh, iya selalu, sering malah. Pernah waktu dulu ketika Wasana meminta izin beli panci baru, Yuwa melarang tegas sebab panci di dapur masih ada. Sebenarnya itu alasan Yuwa malas keluar rumah. Waktu itu mereka masih di rumah Bu Yara, sebelum akhirnya pindah. Dan waktu Wasana meminta izin makan di luar, Yuwa juga melarang dengan alasan hemat karena Yuwa baru merintis usaha.

Tandas sudah isi mangkok, Yuwa beranjak, meninggalkan Wasana yang setia duduk di pinggir ranjang menunggu Yuwa selesai makan.

“Mas mau ke mana?”

“Mau mandi, siap-siap kerja. Kamu juga siap-siap kerja juga.”

“Jadi, Mas, kemarin itu kerja? Aku pikir jalan-jalan.”

Seenaknya Wasana berpikir demikian, dia tidak tahu apa, Yuwa tersiksa jadi pembantu rumah orang kaya!

“Sebentar. Kenapa aku harus rajin?” Yuwa balik badan, berkacak pinggang. “Ini, 'kan, pekerjaanmu dan sebenarnya untuk apa kamu kerja? Uang yang kuberi kurang?”

Wasana tampak ragu. Matanya seolah mencari sesuatu. Yuwa yakin, Wasana menyembunyikan sesuatu.

“Apa kamu terlilit hutang?” Duga Yuwa memicingkan mata. Hanya itu yang terlintas di otaknya.

Dan sepertinya tebakan Yuwa benar, dilihat dari reaksi yang muncul dengan gelagat yang kebingungan dan sempat tercengang. Namun, itu hanya sekilas, sebelum Wasana terlihat santai kembali.

“Aku hutang untuk apa?” sanggah Wasana, lantas pergi dari kamar membawa mangkok kotor.

Yuwa jadi bertanya-tanya seberapa besar hutang istrinya dan untuk apa? Kalau dilihat pun tidak ada panci baru, hanya ada panci tertambal. Televisi juga sama sejak mereka pindah rumah kemari. Tas, baju, make up, perhiasan Wasana semuanya usang, tidak ada yang baru. Atau jangan-jangan Wasana terkena penipuan? Wah, kalau seperti itu bisa bahaya bagi kehidupan Yuwa.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now